PENDAHULUAN

Budaya dapat didefinisikan sebagai satu kelompok yang melakukan kelangsungan hidup dan beradaptasi terhadap lingkungannya. Demikian juga menurut akar kata bahasa Indonesia “budaya” berasal dari “budi” dan “daya”, artinya budi yang diberdayakan dan berpengaruh terhadap lingkungan sekitarnya. Multicultural memiliki arti “beragam budaya” selalu mendapat perhatian dari kalangan akademisi karena budaya adalah hasil dari pendidikan, pendidikan merupakan pemindahan budaya (transfer of culture) dan memperkayakan budaya. Banks (1997; 25) menyebutkan sekolah merupakan sistem sosial dan sekolah merupakan lingkungan yang efektif terhadap beragam budaya (multicultural), lembaga sekolah merupakan sistem budaya,  sekolah merupakan budaya, kebijakan, politik, dan diisikan dengan kurikulum serta proses pembelajaran.

Pendidikan multicultural sangat diperlukan karena manusia sangat dibelenggu oleh bingkai ras, suku, budaya, warna kulit , kelas sosial, gender, dan agama, sebenarnya variabel ini perlu berinteraksi untuk menumbuh suatu kekuatan diri dalam bermasyarakat dan bernegara. Akan tetapi masih terdapat sebagian kelompok yang belum mampu merima budaya lain ke dalam budayanya. Komunikasi antar budaya akan menciptakan manusia yang berharkat dan bermartabat di tengah-tengah persaingan global, lembaga pendidikan diharapkan akan mampu menjadi perekat terhadap beragam budaya yang ada.

Analisis buku ini membicarakan proses enkulturasi kebudayaan, psikologi sekolah multikultural tentang pelayanan staf, psikologi  sekolah multikultural tentang pengawasan profesional, psikologi sekolah multikultural tentang pelatihan sebagai pendidikan yang berkelanjutan.

RINGKASAN BUKU

Halaman 24 -26

Proses Enkulturasi Kebudayaan

Mempersatukan kerangka pemikiran dan psikologi dapat membantu untuk melihat perubahan besar terhadap enkulturasi kebudayaan yang berbeda. Hal ini mungkin saja bisa berguna dalam proses enkulturasi kebudayaan yang paling pokok. Gibbs, Huang dan asosiasinya (1998) telah mengidentifikasikan beberapa jalan kecil. Untuk masyarakat Puerto Rico, mereka mengidentifikasikan pengalaman para remaja, dalam hal tata cara bergaul, kebudayaan, generasi, sosial economy, dan perkembangan. Mereka melihat bahwa anak – anak Cina dan juga para remaja Cina melakukan sebuah enkulturasi dalam sebuah dunia yang spesifik yaitu melalui gelombang imigrasi atau perpindahan, dan menurut Panggung Sluzki (1979) bagian ini telah dikelompokkan menjadi 5 bagian. Untuk para anak – anak dan  remaja Amerika India, Mohatt dan Blue (1982) menyatakan bahwa hal itu diukur melalui skala tradisionalitas.

ANALISIS BUKU

Berbicara tentang enkulturasi kebudayaan berarti membicarakan seluk beluk antropologi yaitu membicarakan tentang kotak-kotak kebudayaan (culture contact). Penelitian terhadap studi enkulturasi di Amerika, bermula dari reaksi terhadap suatu upaya rekonstruksi “memory culture”. Kajian enkulturasi kebudayaan berawal dari Inggeris, Perancis, dan Belanda untuk memecahkan masalah-masalah praktis di daerah penjajahan; juga faktor utama yang menyebabkan semakin populernya kajian ini. Sementara di Amerika perkembangan pesat dari studi enkulturasi adalah lebih berkaitan dengan berbagai masalah sosial yang timbul sebagai akibat masa depresi ekonomi (malaise). ( Hari Poerwanto, 1997; 56).

Definisi enkulturasi yang sistematik, pertama kalinya dikemukakan oleh Redfield, Linton dan Herskovits (1936): “Acculturation comprehends these phenomena which result when groups of individuals having different cultures come into continous first-hand contact, with subsequent changes in the original cultural patters of either or both groups”. Sementara itu terdapat kritikan yang meluas tentang pembatasan tersebut, dan kemudian beberapa penulis melakukan modifikasi; termasuk juga dilakukan oleh tiga orang tersebut di atas. Sekalipun demikian, umumnya mereka tetap berpegang pada definisi tadi sekalipun memahaminya diperlukan beberapa pertimbangan untuk selalu melihat dalam keterkaitannya dengan keseluruhan dari isi memorandum. Beberapa point yang sangat sulit untuk ditafsirkan adalah (1) apa sebenarnya pengertian “continous first-hand contact”; (2) apa pengertian dari “groups of individuals”; (3) bagaimanakah hubungan antara enkulturasi dengan konsep perubahan kebudayaan dan defusi; (4) bagaimanakah hubungan antara enkulturasi dan asimilasi; dan (5) apakah enkulturasi sebagai suatu proses ataukah menunjukkan pada suatu keadaan (a process or a condition).

Dalam salah satu tulisan Thurnwald (1932) bahkan mengatakan bahwa enkulturasi “Acculturation is a process, not an isolated event”, sebagai implikasi dari pernyataannya itu, ia lebih menekankan suatu proses yang terjadi pada tingkat individual, karenanya “suatu proses adaptasi terhadap kondisi kehidupan baru” itulah yang disebut enkulturasi.  Selain itu juga berpendapat bahwa “suatu hubungan bukan hanya peristiwa tunggal semata tetapi secara tidak langsung dapat diputar dari kedudukan tombolnya yang hampir menyerupai serangkaian gerakan-gerakan yang hampir selesai terjadi; kesemuanya itu adalah sebagai suatu proses dengan perbedaan tahapan”.

Imran Manan, PhD, (1989; 9) menyebutkan enkulturasi dalam arti luas, pendidikan termasuk ke dalam proses umum, di mana seseorang anak bertumbuh diinisiasikan ke dalam cara hidup dari masyarakatnya. Pendidikan mencakup setiap proses, kecuali yang bersifat genetic, yang menolong membentuk pikiran, karakter, atau kapasitas fisik seseorang. Proses tersebut berlangsung seumur hidup, karena kita harus mempelajari cara berpikir dan bertindak yang baru dalam perubahan besar dalam hidup kita. Dalam arti sempit pendidikan, adalah penanaman pengetahuan, keterampilan dan sikap pada masing-masing generasi dalam menggunakan pranata-pranata, seperti sekolah-sekolah yang sengaja diciptakan untuk tujuan tersebut. Istilah pendidikan juga berarti disiplin ilmu (termasuk psikologi, sosiologi, sejarah, dan filosofi pendidikan).

Pendidikan di sekolah hanya merupakan salah satu alat enkulturasi – pendidikan yang lain, mencakup keluarga, gereja, kelompok sebaya dan media masa masing-masing dengan nilai-nilai dan tujuan-tujuannya sendiri. Demikian pula pendidik mungkin ingin menanamkan kualitas tertentu pada anak-anak, seperti berpikir bersih dan pertimbangan bebas, namun pendidik terbatas kesanggupan untuk berbuat demikian karena kenyataannya badan-badan lain mungkin membentuk anak secara berbeda. Televisi, umpamanya, kadang-kadang berusaha memberi informasi, tetapi kebanyakan TV memberi hiburan, kadang-kadang sensasi, dan secara tetap “menjualkan” melalui insinuasi, penonjolan, dan bujukan.

Conny R. Semiawan (2007; 118) menyebutkan bahwa pendidikan itu merupakan “proses membebaskan diri”, di mana insan manusia memperoleh peluang mengaktualisasi diri secara optimal “to become what he is capable of”, suatu upaya untuk memberdayakan manusia sesuai kemampuan yang ada padanya dan sesuai pilihannya sendiri. Ini adalah suatu pengembangan kemampuan manusia (human capacity development, HCD). Pernyataan ini menggaris bawahi bahwa pendidikan membantu manusia untuk merubah dan mengembangkan dirinya serta meng-enkulturasi diri bukan meng-diisolasikan diri.

Proses enkulturasi kebudayaan terdapat  beragam pendapat sebagaimana yang penulis sebut di atas, apakah enkulturasi merupakan; ;continous first-hand contact”;   groups of individuals; bagaimanakah hubungan antara enkulturasi dengan konsep perubahan kebudayaan dan defusi; bagaimanakah hubungan antara enkulturasi dan asimilasi; dan a process or a condition. Enkulturasi merupakan proses kebudayaan dan berkaitan dengan “Sistem nilai budaya dalam kebudayaan” dari semua kebudayaan yang ada di dunia.  Kerangka ini telah dikembangkan oleh seorang ahli antropologi, Clyde Kulkckhohn. Sesudah ia meninggal, konsepnya dikembangkan lebih lanjut oleh istrinya Florence Kulkckhohn, yang dengan kerangka itu kemudian melakukan suatu penelitian yang nyata. Uraian tentang konsep itu bersama hasil penelitiannya dimuat dalam sebuah buku berjudul Variations in value Orientation (1961), yang ditulisnya bersama dengan seorang ahli sosiologi bernama F.L. Strodtbeck. Kerangka Kulkckhohn dapat dilihat pada tabel berikut ini;

Masalah dasar dalam hidup

Orientasi Nilai- budaya

Hakekat hidup

(MH)

Hidup itu buruk Hidup itu baik Hidup itu buruk, tetapi manusia wajib berikhtiar supaya hidup itu menjadi baik
Hakekat karya

(MK)

Karya itu untuk nafkah hidup Karya itu untuk kedudukan, kehormatan, dan sebagainya Karya itu untuk menambah karya
Persepsi Manusia tentang waktu

(MW)

Orientasi ke masa depan Orientasi ke masa lalu Orientasi ke masa depan
Pandangan manusia tentang alam

(MA)

Manusia tunduk kepada alam yang dahsyat Manusia berusaha menjaga keselarasan dengan alam Manusia berhasrat menguasai alam
Hakekat hubungan antara manusia dengan sesamanya

(MM)

Orientasi kolateral(horizontal), rasa ketergantungan pada sesamanya (berjiwa gotong royong) Orientasi vertikal, rasa ketergantungan kepada tokoh-tokoh atasan dan berpangkat Individualisme menilai tinggi usaha atas kekuatan sendiri

Menurut Koentjaraningrat (1994; 25) bahwa sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi, yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup.

Kemudian R. G. Paulston dan D. Lejeune (1980; 37) menggambarkan pendidikan berfungsi dan menghubungkan antara beberapa variabel berikut ini;

Berbagai variabel lain yang diduga berpengaruh terhadap terjadinya enkulturasi juga perlu digali lebih lanjut, misalnya yang berkaitan dengan properties cultural system. Yang termasuk dalam variabel tersebut antara lain (1) suatu mekanisme pengatur batas-batas (boundary-maintaining mechanisms) yang ditemukan, apakah sistem terbuka atau tertutup; (2) secara relatif, apakah struktur internal dari sistem budaya adalah kaku (rigidity) ataukah fleksibel; (3) ciri-ciri dan fungsi dari mekanisme self-correction dari sistem budaya. Dalam penerapannya, berbagai variabel tadi tidak diperlukan hanya sebagai kelengkapan dari variabel sistem budaya yang mengakibatkan enkulturasi. Dalam hal ini, berbagai hal dari ketiga komponen budaya yang mengakibatkan enkulturasi. Dalam hal ini dari ke tiga komponen di atas yang terjadi adalah sangat relevan dan sangat penting bagi, dan agaknya sampai sekarang tidak banyak analisis mengenai hal tersebut yang dikaitkan dengan studi enkulturasi.

Pada umumnya, salah satu ukuran yang dapat dipakai sebagai pembeda dalam suatu sistem budaya yang mungkin secara objektif dapat diuji dan signifikan adalah variasi dari mekanisme boundary-maintaing. Hal itu dapat berupa teknik-teknik maupun idiologi dalam rangka suatu sistem sehingga memungkinkan terjadinya pembatasan partisipasi di kalangan in group. Dalam suatu kebudayaan, untuk menjadi bagian dari warganya, terdapat suatu sistem di mana hanya individu-individu tertentu dengan suatu seleksi ketat, dapat menjadi anggota. Biasanya, mereka yang dapat diterima sebagai anggota, adalah orang-orang yang bersedia conform terhadap nilai-nilai tertentu yang dianggap penting dari suatu kebudayaan. Agaknya, secara relatif ada atau tidak adanya boundary-maintaining mechanism dapat dipakai sebagai suatu alat untuk membatasi para warga yang dianggap layak sebagai anggotanya. Diharapkan, melalui mekanisme ini sebagai perisai terhadap pengaruh asing. Sementara itu ada pula beberapa sistem yang pada keseluruhan tingkatan dalam kebudayaan tadi adalah terbuka bagi para anggotanya tetapi sangat dijaga secara hati-hati dari pengaruh asing, misalnya dalam bentuk adat istiadat tertentu.

Beberapa contoh dari boundary-maintaining mechanism spesifik yang mungkin dijalankan pada sistem tertutup  misalnya; untuk menjadi anggota harus melalui upacara inisiasi; upacara pembersihan diri guna memperbaharui pengenalan sebagai anggota in-group, yaitu setelah ia tidak berada dalam lingkungan masyarakatnya selama jangka waktu tertentu; misalnya “kegiatan rahasia’ yang diperuntukkan hanya bagi anggota kelompok saja; berbagai kegiatan lainnya dalam rangka menumbuhkan kesetiaan kepada tanah tumpah darah; selalu menumbuhkan konsep jati-diri misalnya melalui etnosentrisme atau resisme; kembali ke wilayah tugasnya semula; dan sebagainya.

Berbagai tipologi lain yang secara relatif penting adalah yang mendasarkan atas derajat “kekakuan”  dan” keluwesan” dari struktur internal dari suatu sistem budaya. Ketetatan atau kekakuan, biasanya disebabkan oleh kurangnya interrelasi yang berlaku dalam salah satu nilai  tertentu yang juga secara keseluruhan berlaku pada struktur masyarakat, atau hanya berlaku pada hal-hal `tertentu yang dianggap penting dalam suatu struktur sosial. Jika ada yang          `melanggar maka ada suatu sistem sangsi yang diberikan oleh seorang atau beberapa elite penguasa. Dengan sendirinya, derajat integrasi yang dihasilkan tidak dapat dipakai sebagai dasar untuk meramalkan reaksi dari suatu hubungan. Pada umumnya, sistem yang kaku dengan sendirinya resisten terhadap perubahan.

Sementara itu boundary maintaining mechanism adalah lebih menunjuk atribut ketegangan yang ada dipermukaan dari “organisme” suatu kebudayaan; sementara itu self correcting mechanism lebih menunjuk pada kemampuan dari “organisme” kebudayaan untuk mengganti fungsi dan melakukan adaptasi secara internal, yaitu terlepas hal tersebut merupakan suatu mekanisme melindungi dari pengaruh luar. Hal tersebut yang juga bermanfaat dalam studi enkulturasi adalah analisis tentang kekuatan-kekuatan apakah yang mampu membuat keseimbangan dalam suatu struktur sosial tertentu. Untuk itu, pokok kajian lebih dipusatkan kepada kualitas dinamika mereka dan variansi potensinya. Dimensi konseptual yang dikenal adalah perjuangan kekuatan dan kedudukan yang bersifat overt dan cover, kecendrungan memecah belah golongan, dan tensi yang sentrifugal yang dihasilkan oleh kemungkinan penolakan yang dilakukan oleh seseorang dari suatu kelompok. Diasumsikan pada umumnya, jika tidak mungkin semuanya, suatu sistem pada beberapa tingkatan mengalami tingkatan mengalami konflik, baik yang tersembunyi atau yang tampak jelas, kontradeksi atau berlawanan dengan kepentingan di antara segmen masyarakat tertentu; dan bahkan  dalam kelompok di mana tidak pernah konflik besar. Apakah itu semua benar atau dapat menyesuaikan diri dengan tujuan seperti yang digambarkan dalam status dan peranan, baik yang ascribed maupun achieved. Dapat dikatakan bahwa tidak ada suatu cara apapun bahwa ada sistem penghargaan atau reward akan dapat mampu menahan timbul frustasi. Bertitik tolak dari asumsi ini maka harus ada  implementasi kekuatan counter yang tegas, sehingga pola-pola dari social order tertentu dapat teratur kembali.

Maciver (1937; 272) menyebutkan culture sebagai eksperesi jiwa yang terwujud dalam cara-cara hidup dan berpikir, pergaulan hidup, seni kesusastraan, agama, rekreasi dan hiburan. Sebuah potret, novel, drama, film, permainan, filsafat dan sebagainya, termasuk culture, karena hal-hal itu secara langsung memenuhi kebutuhan manusia. Dengan pernyataan itu, Maciver mengeluarkan unsur materiil dari ruang lingkup culture.

Soerjono Soekanto (1982; 272) dalam bukunya menyebutkan contoh enkulturasi kebudayaan, di mana kepadatan penduduk di pulau Jawa, telah melahirkan berbagai perubahan dengan pengaruh yang besar. Areal tanah yang dapat diusahakan menjadi lebih sempit; pengangguran tersamar kian tampak di desa-desa. Meraka tidak mempunyai tanah menjadi buruh tani dan banyak wanita serta anak-anak yang menjadi “buruh” potong padi pada waktu panen. Sejalan dengan itu, terjadi pula proses individualisasi milik tanah. Hak-hak ulayat desa semakin luntur karena areal tanah tidak seimbang dengan kepadatan penduduk. Timbullah bermacam-macam lembaga hubungan kerja, lembaga gadai tanah, lembaga bagi hasil dan seterusnya, yang pada pokoknya bertujuan untuk mengambil manfaat yang sebesar mungkin dari sebidang tanah yang tidak begitu luas. Warga masyarakat hanya hidup sedikit di atas standar minimal. Keadaan atau sistem sosial yang demikian oleh Clifford Geertz disebut shared poverty.

Menurut Clifford Geertz ( 1956; 13) perubahan yang dikehendaki atau direncanakan merupakan perubahan yang diperkirakan atau yang telah direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak mengadakan perubahan di dalam masyarakat. Pihak yang menghendaki perubahan dinamakan agent of change, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan.

Perubahan sosial yang tidak dikehendaki atau yang tidak direncanakan merupakan perubahan-perubahan yang terjadi tanpa dikehendaki, berlangsung di luar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menyebab timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan masyarakat.

Agent of change memimpin masyarakat dalam mengubah sistem sosial. Dalam melaksanakannya, agent of change langsung tersangkut dalam tekanan untuk mengadakan perubahan. Bahkan mungkin menyiapkan pula perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Suatu perubahan yang dikehendaki atau yang direncanakan selalu berada di bawah pengendalian serta pengawasan agent of change tersebut (Selo Soemardjan, 1964; 380-381). Cara-cara mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan lebih dahulu dinamakan rekayasa sosial (social engineering) atau sering pula dinamakan perencana sosial (sosial planning) (Henry Pratt Fairchild, 1976; 282).

Perubahan sosial yang tidak dikehendaki atau yang tidak direncanakan merupakan perubahan-perubahan yang terjadi tanpa dikehendaki, berlangsung di luar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan masyarakat. Apabila perubahan yang tidak dikehendaki tersebut berlangsung bersamaan dengan suatu perubahan yang dikehendaki, perubahan tersebut mungkin mempunyai  pengaruh yang demikian besarnya terhadap perubahan-perubahan yang dikehendaki. Dengan demikian, keadaan tersebut tidak mungkin diubah tanpa mendapat halangan-halangan masyarakat itu sendiri. Atau dengan kata lain, perubahan-perubahan yang dikehendaki diterima oleh masyarakat dengan cara mengadakan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada atau dengan cara membentuk yang baru. Sering kali terjadi perubahan yang dikehendaki bekerjasama dengan perubahan yang tidak dikehendaki dan kedua proses tersebut saling mempengaruhi.

Konsep perubahan yang dikehendaki dan yang tidak dikehendaki tidak mencakup paham apakah perubahan-perubahan tadi diharapkan atau tidak diharapkan oleh masyarakat. Mungkin suatu perubahan yang tidak dikehendaki sangat diharapkan dan diterima oleh masyarakat. Bahkan para agent of change yang merencanakan perubahan-perubahan yang dikehendaki telah memperhitungkan terjadinya perubahan-perubahan yang tidak terduga (dikehendaki) di bidang-bidang lain. Pada umumnya sulit mengadakan ramalan tentang terjadinya perubahan-perubahan yang tidak dikehendaki. Karena proses tersebut biasanya tidak hanya merupakan akibat dari satu gejala sosial saja, tetapi dari pelbagai sosial sekaligus.

Suatu perubahan yang dikehendaki dapat timbul sebagai reaksi (yang direncanakan) terhadap perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan yang terjadi sebelumnya, baik yang berupa perubahan yang dikehendaki maupun yang tidak dikehendaki. Terjadinya perubahan-perubahan yang dikehendaki, perubahan-perubahan yang kemudian merupakan  perkembangan selanjutnya meneruskan proses. Bila sebelumnya terjadi perubahan-perubahan yang tidak dikehendaki, perubahan yang dikehendaki dapat ditafsirkan sebagai pengakuan terhadap perubahan-perubahan sebelumnya agar kemudian diterima secara luas oleh masyarakat.

Perubahan yang dikehendaki merupakan suatu teknik sosial yang oleh Thomas dan Znaniecki ditafsirkan sebagai suatu proses yang berupa perintah dan larangan. Artinya, menetraliskan suatu keadaan krisis dengan suatu akomodasi (khusus arbitrasi) untuk melegakan hilangnya keadaan yang tidak dikehendaki atau berkembangnya suatu keadaan yang dikehendaki. Legalisasi tersebut dilaksanakan dengan tindakan-tindakan fisik yang bersifat arbitratif. Selo Soemardjan, 1964; 388).

Untuk mempelajari perubahan masyarakat, perlu diketahui sebab-sebab yang melatari terjadinya perubahan itu, Apabila diteliti lebih mendalam mengenai sebab terjadinya suatu perubahan masyarakat, mungkin dikarenakan adanya suatu yang dianggap sudah tidak lagi memuaskan. Mungkin saja perubahan terjadi karena adanya faktor baru yang lebih memuaskan masyarakat sebagai pengganti faktor yang lama itu. Mungkin juga masyarakat mengadakan perubahan karena terpaksa demi untuk menyesuaikan suatu faktor dengan faktor-faktor lain yang sudah mengalami perubahan terlebih dahulu.

Gillin dan Gillin (1964; 740) menegaskan bahwa masalah sosial merupakan suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Atau, menghambat terpenuhinya keinginan-keinginan pokok warga  kelompok sosial tersebut sehingga menyebabkan kepincangan ikatan sosial. Dalam keadaan normal terdapat integrasi serta keadaan yang sesuai pada hubungan-hubungan antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, sebagaimana yang digambarkan di bawah ini.

Apabila antara unsur-unsur tersebut terjadi bentrokan, maka hubungan-hubungan sosial akan terganggu sehingga mungkin terjadi kegoyahan dalam kehidupan kelompok. Suatu kebudayaan mungkin berubah sedemikian rupa bila para anggota masyarakat merasa bahwa kebutuhan-kebutuhannya tak dapat dipenuhi oleh kebudayaan. Kebutuhan tersebut mungkin berupa kebutuhan biologi ataupun sosial. Secara biologis manusia mempunyai dua kebutuhan yang fundamental, yaitu kebutuhan pada makanan  dan hidup. Di samping kebutuhan-kebutuhan tersebut, atas dasar unsur biologis, berkembang pula kebutuhan-kebutuhan lain yang timbul karena pergaulan dalam masyarakat, yaitu kedudukan sosial, peranan sosial, dan sebagainya. Apabila individu tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial, hidupnya akan tertekan. Dan dia akan merasa bahwa kehidupan ini tak banyak gunanya.

Perumusan masalah sosial tidak begitu sukar, daripada usaha-usaha untuk membuat suatu indeks yang memberi petunjuk akan adanya masalah sosial tersebut. Para sosiolog telah banyak megusahakan adanya indeks-indeks tersebut seperti misalnya simple rates, yaitu laju gejala-gejala abnormal dalam masyarakat, angka-angka, bunuh diri, perceraian, kejahatan anak-anak, dan seterusnya. Seringkali juga diusahakan sistem composite insides, yaitu gabungan indeks-indeks dari bermacam-macam aspek yang mempunyai kaitan satu dengan lainnya.

Menurut Gillin dan Gillin, (1964, 505) akomodasi adalah suatu pengertian yang digunakan oleh para sosiolog untuk menggambarkan suatu proses dalam hubungan-hubungan sosial yang sama artinya dengan pengertian adaptasi (adaptation) yang digunakan oleh ahli-ahli biologi untuk menunjukkan pada suatu proses di mana makhluk-makhluk hidup menyesuaikan dirinya dengan alam sekitarnya. Dengan pengertian tersebut dimaksudkan sebagai suatu proses di mana orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia yang mula-mula saling bertentangan, saling mengadakan penyesuaian diri untuk mengatasi ketegangan-ketegangan. Sebenarnya pengertian adaptasi menunjukkan pada perubahan-perubahan organis yang disalurkan melalui kelahiran, di mana makhluk-makhluk hidup menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya sehingga dapat mempertahankan hidupnya.

Akomodasi sebenarnya merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya.

Tidak selamanya suatu akomodasi sebagai proses akan berhasil sepenuhnya. Di samping terciptanya stabilitas dalam beberapa bidang, mungkin sekali benih-benih pertentangan dalam bidang-bidang lainnya masih tertinggal, yang luput diperhitungkan oleh usaha-usaha akomodasi terdahulu. Benih-benih pertentangan yang bersifat laten tadi (seperti prasangka) sewaktu-waktu akan menimbulkan pertentangan baru. Dalam keadaan demikian, memperkuat cita-cita, sikap dan kebiasaan-kebiasaan masa-masa lalu yang telah terbukti mampu meredam bibit-bibit pertentangan merupakan hal penting dalam proses akomodasi, yang dapat melokalisasi sentimen-sentimen yang akan melahirkan pertentangan baru. Dengan demikian, akomodasi bagi pihak-pihak tertentu dirasakan menguntungkan, namun agak menekankan bagi pihak lain, karena adanya campur tangan kekuasaan-kekuasaan tertentu dalam masyarakat.

Akomodasi membuka jalan ke arah asimilasi, asimilasi sebagai salah satu bentuk proses-proses sosial yang erat kaitannya dengan proses dan pertemuan dua kebudayaan atau lebih. Oleh karenanya, istilah asimilasi dan enkulturasi dipergunakan dalam pengertian yang sama; dan sebagai akibat kedua pengertian yang diberikan kepada kedua istilah tersebut bertumpang tindih. Mengingat hal tersebut maka melalui The Social Research Council, sejak tahun 1930 telah mencoba perumusan yang lebih tepat mengenai perumusan enkulturasi. Perumusan enkulturasi dari Redfield, Linton, dan Herskovits dalam “Memorandum for the Study of Acculturation” masih tetap dikembangkan pada masa mendatang, antara lain dilakukan oleh Herskovits yang dimuat dalam Outline for the Study of Acculturation (Herskovits, 1958).

Pada dasarnya pengertian yang terkandung dalam istilah asimilasi dan enkulturasi; di samping mengandung pengertian yang sama, tetapi juga menunjukkan ada dimensi yang berbeda. Sebagai contoh pembatasan asimilasi yang dibuat oleh Robert E. Park dan Ernest W. Burgess (1921; 735), antara lain “… a process of interpretation and fusion in which persons and group acquire the memories, sentiments, and attitude of other persons or groups, and by sharing their experience and history are incorporated with them in a common cultural life”, sementara ketiga ahli antropologi di atas dalam memberikan pembatasan enkulturasi adalah “… comprehends those phenomena which result when groups of individual having different culture come into continous first hand contract, with subsequent changes in the original cultural patterns of either or both groups”.

Kesimpulan

Kesimpulan analisis di atas bahwa “Acculturation is a process, not an isolated event”, sebagai implikasi dari pernyataannya itu, ia lebih menekankan suatu proses yang terjadi pada tingkat individual, karenanya “suatu proses adaptasi terhadap kondisi kehidupan baru” itulah yang disebut enkulturasi. Enkulturasi merupakan proses kebudayaan dan berkaitan dengan “Sistem nilai budaya dalam kebudayaan” dari semua kebudayaan yang ada di dunia. Culture sebagai eksperesi jiwa yang terwujud dalam cara-cara hidup dan berpikir, pergaulan hidup, seni kesusastraan, agama, rekreasi dan hiburan dapat menjadi individu bernilai, demikian pula enkulturasi dapat mempengaruhi bentuk-bentuk pendidikan, pendidikan harus memperhatikan enkulturasi yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat. Tugas utama pendidikan adalah mengekalkan hasil-hasil prestasi kebudayaan, pendidikan pada dasarnya bersifat konservatif. Namun, sejauh ini pendidikan bertugas menyiapkan pemuda-pemuda untuk menyesuaikan diri kepada kejadian-kejadian yang dapat diantisipasi di dalam dan di luar kebudayaan, pendidikan telah merintis jalan untuk perubahan kebudayaan.

Daftar Pustaka

Geertz, Clifford, The Sosial Context of Economic: An Indonesia Case Study (MIT, Cambridge, 1956).

Gillin and Gillin, Cultural Sociology, a Revision of an Introduction to Sociology, (New York: The Macmillan Company, 1964).

Henry Pratt Fairchild and 100 authorities, Dictionary of Sociology and Related Science,(Littlefield, Adam & Co, Ames-Iowa, 1976).

Herskovits, Melville, J. Cultural Anthropology. (New York: Alfred A. Knopf., 1958).

Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta, PT. Gramedia, 1994).

Kulkckhohn, Clyde, Mirror for Man: The Relation of Anthropology to Modern Life (New York; Whittlesey House, 1949).

Linton, R. The Study of Man: An Introduction, (New York, Appleton Century Company, 1936).

Maciver, Society; A Textbook of Sociology, (New York: Farrar and Rinehart, 1937).

Manan, Imran, Anthropologi Pendidikan; Suatu Pengantar, (Jakarta, DIKTI Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989).

Park, Robert E,  dan Ernest W. Burgess. Introduction to the Science of Sociology. (Chicago: University of Chicago Press, 1921).

Paulston, Rolland G, Other Dreams, Other Schools: Folk Colleges in Sosial and Ethnic Movements, (Pittsburgh, University of Pittsburgh, 1980).

Poerwanto, Hari, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan, (Jakarta, DIKTI Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977).

Soekanto, Soerjono, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta, PT. Rajawali, 1982).

Soemardjan, Selo dan Soemardi, Soelaeman, Setangkai Bunga Sosiologi, (Jakarta: Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964).

Semiawan, Conny R, Catatan Kecil tentang Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta, Penerbit Kencana, 2007)