Beranda

Pengertian dan Hakekat PAUD

Tinggalkan komentar

A. Pengertian PAUD

Pendidikan anak usia dini adalah merupakan upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian stimulus pendidikan agar membantu perkembangan, pertumbuhan baik jasmani maupun rohani sehingga anak memiliki kesiapan memasuki penddikan yang lebih lanjut.

Pendidikan anak usia dini merupakan pendidikan yang paling mendasar dan menempati kedudukan sebagai golden age dan sangat strategis dalam pengembangan sumber daya manausia (Direktorat PAUD, 2005). Rentang anak usia dini dari lahir sampai usia enam tahun adalah usia kritis sekaligus strategis dalam proses pendidikan dan dapat mempengaruhi proses serta hasil pendidikan seseorang selanjutnya artinya pada periode ini merupakan periode kondusif untuk menumbuh kembangakan berbagai kemampuan, kecerdasan, bakat, kemampuan fisik, kognitif, bahasa, sosio-emosional dan spiritual.

Sehat, cerdas, ceria, dan berakhlak mulia adalah sebait ungkapan yang sarat makna dan merupakan semboyan dalam pengasuhan, pendidikan dan pengembangan anak usia dini di Indonesia (Jalal, 2005).

Pendidikan anak usia dini dianggap sebagai cermin dari suatu tatanan masyarakat, tetapi juga ada pandangan yang mengemukakan bahwa sikap dan perilaku suatu masyarakat dipandang sebagai suatu keberhasilan ataupun sebagai suatu kegagalan dalam pendidikan dan keberhasilan pendidikan tergantung kepada pendididkan anak usia dini karena jika pelaksanaan pendidikan pada usia dini baik, maka proses pendidikan pada usia remaja, usia dewasa akan naik pula.

B. Hakekat PAUD

Secara alamiah, perkembangan anak berbeda-beda, baik intelegensi, bakat, minat, kreativitas, kematangan emosi, kepribadian, kemandirian, jasmani dan sosialnya. Namun penelitian tentang otak menunjukkan bahwa jika anak dirangsang sejak dini, akan ditemukan potensi-potensi yang unggul dalam dirinya. Setiap anak unik, berbeda dan memiliki kemampuan tak terbatas dalam belajar (limitless capacity to learn) yang telah ada dalam dirinya untuk dapat berpikir kreatif dan produktif, mandiri . Oleh karena itu, anak memerlukan program pendidikan yang mampu membuka kapasitas tersembunyi tersebut melalui pembelajaran yang bermakna sedini mungkin. Jika potensi pada diri anak tidak pernah direalisasikan, berarti anak telah kehilangan kesempatan dan momentum penting dalam hidupnya.

Abraham Maslow telah menjelaskan tentang hirarki dari kebutuhan dasar manusia karna setiap individu itu berbeda, baik dilihat dari jenis kelamin, temperamen, ketertarikan, gaya belajar, pengalaman hidup, budaya, kebutuhannya (Diane Trister Dodge, Laura J. Colker, Cate, 2008). Maka setiap individu juga berbeda dalam hal kemandirian, konsep diri, dan tingkat kemampuannya.

Usia 4-6 tahun (TK) merupakan masa peka bagi anak, di mana anak mulai sensitif untuk menerima barbagai upaya perkembangan seluruh potensi anak. Masa peka adalah masa terjadinya pematangan fungsi-fungsi fisik dan psikis yang siap merespon stimulasi yang diberikan oleh lingkungan.  Di mana pada masa ini merupakan masa untuk meletakkan dasar pertama dalam mengembangkan kemampuan fisik, kognitif, bahasa sosial emosional, konsep diri, disiplin, kemandirian, seni, moral, dan nilai-nilai agama (Depdikna ,2004). Oleh sebab itu dibutuhkan suasana belajar, strategi dan stimulus yang sesuai dengan kebutuhan anak agar pertumbuhan dan perkembangan anak tercapai secara optimal.

Hahekat pendidikan anak usia dini adalah periode pendidikan yang sangat menentukan perkembangan dan arah masa depan seorang anak sebab pendidikan yang dimulai dari usia dini akan membekas dengan baik jika pada masa perkembangannya dilalui dengan suasana yang baik, harmonis, serasi, dan menyenangkan.

Pendidikan anak usia dini merupakan dasar dari pendidikan anak selanjutnya yang penuh dengan tantangan dan berbagai permasalahan yang dihadapi anak. Sengan demikian maka pandidikan usia dini adalah jendela pembuka dunia (window of opportunity) bagi anak

Secara singkat Bredekamp dan Regrant menyimpulkan bahwa anak akan belajar dengan baik dan bermakna bila anak merasa nyaman secara psikologis serta kebutuhannya fisiknya terpenuhi, anak mengkonstruksi pengetahuannya, anak belajar melalui interaksi sosial dengan orang dewasa dan anak lainnya, eksplorasi, pencarian, penggunaaan, belajar melalui bermain, unsur perbedaan anak diperhatikan(Bredekamp,1997).

Developmentally Appropriate Practice includes activities that are based on childrens interests, their cognitive lavel of functioning, and their social and emotional maturity. Such activities appeal to young childrens natural curiosity, enjoyment of sensory experiences, and desire to explore their own ideas (Eleanor stokes Szanton,2008)

Komitmen Jomtien Thailand  tentang Pendidikan Untuk Semua (Education For All) menyatakan bahwa semua orang mempunyai hak mendapatkan pendidikan dasar untuk mengem-bangkan bakat, meningkatkan kehidupannya, dan mentransfor-masikan masyarakatnya (Unesco,2001) .

Komitmen memberikan kesempatan pendidikan yang lebih luas kepada setiap orang mulai dari usia dini sampai dewasa ditegaskan kembali dalam tujuan-tujuan Pendidikan Untuk Semua dengan Deklarasi Dakar yaitu: (i) memperluas & memperbaiki keseluruhan perawatan & pendidikan anak usia dini secara komprehensif terutama yang sangat rawan & terlantar; (ii) kesetaraan jender di bidang pendidikan; (iii) program life skill bagi pemuda & orang dewasa; (iv) pemberantasan buta aksara;(v) wajib belajar pendidikan dasar; dan (vi) peningkatan mutu pendidikan (Unesco,2001). Hak-hak mendapatkan pendidikan bagi setiap warga negara telah diakui di Indonesia sejak awal kemerdekaan. Kesamaan hak mendapatkan pendidikan tersebut diamanatkan dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa salah satu dari tujuan kemerdekaan Indonesia adalah untuk mencerdaskan bangsa.

Hakekat Pembelajaran Kontekstual dan Perbedaannya dengan Pembelajaran Konvensional

Tinggalkan komentar

Berikut ini enam strategi pembelajaran kontekstual sebagai panduan guru untuk merancang satuan pembelajaran, yaitu:

  1. Pembelajaran kontektual membicarakan sebuah permasalahan yang memiliki hubungan dalam kehidupan peserta didik.
  2. Rencana pembelajaran melahirkan beragam konteks.
  3. Memanfaatkan berbagai keterampilan peserta didik, minat, pengalaman, dan budaya.
  4. Membangun strategi yang mendukung peserta didik untuk mampu belajar mandiri.
  5. Rencana strategi merangsang saling ketergantungan di antara peserta didik dan kelompok belajar mereka.
  6. Hasil belajar peserta didik dengan menggabungkan strategi penilaian otentik.

Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu pembelajar mengaitkan antara materi yang akan dibelajarkan dengan dunia  nyata peserta didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif yaitu sebagai berikut;

1). Konstruktivistik (constructivistism)

Pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit), dan tidak sekoyong-konyong. Dalam konstruktivistik, strategi lebih diutamakan dibanding seberapa banyak peserta didik memperoleh dan mengingat pengetahuan.

2). Menemukan (inquiry)

Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh peserta didik diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil menemukan sendiri, siklus inquiry adalah observasi (observation), bertanya (questising), mengajukan dugaan (hipotesis), pengumpulan data (data gathering).

3). Bertanya (questioning)

Bertanya dipandang sebagai kegiatan pembelajar mendorong, membimbing, dan memiliki kemampuan berpikir peserta didik, sedangkan peserta didik kegiatan bertanya untuk mengenali informasi, mengkomfirmasikan apa yang sudah diketahui dan mengarahkan  perhatian pada aspek yang belum diketahuinya. Bertanya dapat diterapkan antara peserta didik dengan peserta didik, antara pembelajar dengan peserta didik, antara peserta didik dengan pembelajar, atau antara peserta didik dengan orang yang didatangkan di kelas.

4). Masyarakat belajar (learning community)

Konsep ini menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari hasil kerjasama dengan orang lain, untuk itu pembelajar disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar.

5). Pemodelan (modeling)

Model dalam pembelajaran suatu hal yang sangat dibutuhkan untuk ditiru. Pembelajar (dosen/guru) memberi model tentang bagaimana cara belajar, namun demikian pembelajar bukan satu-satu model. Model dapat dirancang dengan melibatkan peserta didik atau dapat mendatangkan dari luar.

6). Refleksi (reflection)

Cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan yang kemudian kuncinya adalah bagaimana pengetahuan itu mengendap di benak peserta didik.

7). Penilaian yang sebenarnya (authentic assessement)

Prosedur penilaian otentik adalah menunjukkan kemampuan (pengetahuan, ketrampilan, dan sikap) peserta didik secara nyata. Penekanan penilaian otentik adalah pada; penilain yang tidak hanya mengacu pada hasil akan tetapi penilaian pada proses, bagimana peserta didik memperoleh dan memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Pembelajaran yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu peserta didik agar mampu mempelajari (learning how to learn) sesuatu, bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi di akhir periode pembelajaran. Kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan dari hasil, dan dengan berbagai cara. Tes hanya merupakan salah satu cara penilaian. Itulah hakekat penilaian yang sebenarnya (Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2003; 10-20).

Pembelajaran kontekstual merupakan konsepsi dari pengajaran dan pembelajaran yang membantu pembelajar menghubungkan isi mata pelajaran dengan situasi sebenarnya dan memotivasi peserta didik untuk membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan dan penerapannya di dalam kehidupan mereka, sebagai anggota keluarga, warga negara, dan pekerja serta mengikatnya dalam belajar mata pelajaran dengan situasi sebenarnya dan memotivasi peserta didik untuk membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka secara individu, sosial, dan dunia kerja. Strategi pembelajaran kontekstual disebut antara lain (1) didasarkan pada masalah (problem based). Kontekstual dapat dimulai dengan simulasi atau masalah nyata. Para peserta didik menggunakan keterampilan berpikir kritis dan suatu pendekatan sistemik untuk pertanyaan yang berhubungan masalah atau isu yang patut diberi perhatian masalah-masalah yang ada hubungannya dengan anggota keluarga, peserta didik, pengalaman sekolah, tempat kerja, dan masyarakat; (2) Menggunakan beraneka ragam hubungan (using multiple contexts). Pengalaman kontekstual diperkaya ketika para peserta didik belajar keterampilan di dalam berbagai konteks yaitu sekolah, masyarakat, tempat kerja, dan keluarga; (3) Menggambarkan pada keanekaragaman peserta didik (drawing upon student diversity). Perbedaan-perbedaan ini menjadi daya dorong belajar dan dapat memperbanyak kompleksitas kepada pengalaman kontekstual; (4) Membantu perkembangan pembelajaran mandiri (supporting self regulated learning). Pengalaman kontekstual memberi cukup dukungan untuk membantu peserta didik berubah dari ketergantungan ke pembelajaran mandiri; (5) Menggunakan kelompok-kelompok belajar yang salaing bergantungan (using interdependent learning groups). Para peserta didik akan dipengaruhi oleh dan akan berperan untuk pengetahuan dan kepercayaan dari yang lain. Belajar grup dan belajar bermasyarakat merupakan suatu usaha untuk berbagi pengetahuan, berorientasi pada tujuan, dan semua menginginkan mengajar dan belajar dari satu dengan yang lain. Pendidik bertindak sebagai pelatih, fasilitator dan penasehat; (6) Memanfaatkan penilaian yang sesungguhnya (employing authentic assessment). Penilaian yang sesungguhnya menunjukkan bahwa pembelajaran telah terjadi, dicampur ke dalam proses pembelajaran, dan menyiapkan para peserta didik dengan peluang dan arah untuk peningkatan. Penilaian sesungguhnya digunakan untuk memonitor kemajuan peserta didik dan menginformasikan pelaksanaan pembelajaran (Sears dalam Direktorat Pendidikan Umum, 2002; 15-16).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hakekat pembelajaran kontekstual (1) pembelajaran didasarkan pada masalah; (2) pembelajaran terjadi dalam konteks yang beragam, seperti rumah, sekolah, masayarakat, dan tempat kerja; (3) membantu perkembangan pembelajaran mandiri; (4) mengambarkan keanekaragaman peserta didik; (5) menggunakan kelompok-kelompok belajar yang saling bergantungan; (6) menggunakan penilaian yang sesunggunya; (7) memerlukan pemikiran yang lebih tinggi (kritis dan kreatif).

Tabel I.     Perbedaan   Pembelajaran Kontekstual dengan Pembelajaran Konvensional

No Pembelajaran Kontekstual Pembelajaran Konvensional
1 Mengutamakan pada pemahaman peserta didik. Mengutamakan daya ingat dan hafalan.
2 Pembelajaran dikembangkan berdasarkan kebutuhan peserta didik. Pembelajaran dikembangkan oleh guru.
3 Peserta didik secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran Peserta didik penerima informasi secara pasif.
4 Mendorong pembelajaran aktif dan pembelajaran berpusat pada peserta didik (students centered). Mengupayakan peserta didik menerima materi yang disampaikan oleh pembelajar (teacher centered).
5 Penyajian pembelajaran berkaitan dengan kehidupan nyata dan masalah yang disimulasikan. Penyajian disajikan berdasarkan teoretis, abstarak,  kaku dan berpegang pada buku teks
6 Selalu mengaitkan informasi dengan pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik. Memberikan berupa informasi kepada peserta didik sampai saatnya diperlukan.
7 Materi pelajaran selalu diintegrasikan dengan materi lain. Materi pelajaran disajikan secara terfokus berdasarkan subjek materi.
8 Peserta didik menggunakan waktu belajarnya untuk menemukan, mengenal, berdiskusi, berpikir kritis, atau mengerjakan proyek dan pemecahan masalah (melalui kerja kelompok). Cara belajar peserta didik di kelas lebih banyak mendengar ceramah pembelajar, mengerjakan latihan yang diberikan pembelajar (bekerja secara individual) dan belajar di rumah adalah mengerjakan tugas terstruktur dari pembelajar.
9 Pengetahuan dibangun berdasarkan kemampuan peserta didik dan atas kemauan sendiri. Pengetahuan dibangun berdasarkan kebiasaan (behavioristik) dan terikat dengan “kata dosen/guru”.
10 Keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman. Keterampilan dikembangkan atas dasar latihan.
11 Pembelajaran menciptakan peserta didik menjadi dirinya sendiri, berbuat, untuk tahu, dan hidup dengan masyarakat lain Pembelajaran adalah menciptakan peserta didik  berprestasi di sekolah dan mendapat nilai yang tinggi di lapor.
12 Mengajak peserta didik belajar mandiri, berpikir kritis, dan kreatif dalam mengembangkan kemampuan diri. Peserta didik diberi pengetahuan agar dapat menjadi bekal hidupnya.
13 Pengetahuan peserta didik akan dapat dibangun melalui interaksi sosial dan lingkungan. Pengetahuan peserta didik berkembang melalui proses interaksi peserta dengan pembelajar.
14 Peserta didik tidak melakukan sesuatu yang buruk karena sadar hal tersebut dapat merugikan dirinya Peserta didik tidak melakukan sesuatu yang buruk karena takut akan hukuman.
15 Bahasa yang dipergunakan dalam proses pembelajaran adalah bahasa komunikatif, peserta didik diajak mengguakan bahasa konteks nyata Bahasa yang dipergunakan dalam proses pembelajaran adalah struktural; rumus diterangkan sampai paham, kemudian dilatih (drill).
16 Mendorong munculnya motivasi instrinsik Mendorong munculnya motivasi ekstrinsik.
17 Pembelajaran tidak terikat pada tempat, waktu, dan sarana. Pembelajaran hanya terjadi di kelas
18 Pembelajar (dosen/guru) menguatkan dan meneguhkan kesimpulan yang telah dibuat oleh peserta didik. Pembelajar (dosen/guru) membuatkan kesimpulan materi pelajaran yang telah disajikan sebelumnya.
19 Hasil belajar diukur melalui penerapan penilaian autentik (pengetahuan, ketrampilan, dan sikap). Hasil belajar diukr melalui kegiatan akademik dalam bentuk tes/ujian/ulangan.

Filosofi Pembelajaran Kontekstual dengan Pembelajaran Konvensional

Tinggalkan komentar

a. Pembelajaran Kontekstual

Filosofi pembelajaran kontekstual adalah konstruktivistik, yaitu belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal. Peserta didik mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta. Fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan (direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2003; 26). Menurut pandangan konstruktivistik, perolehan pengalaman seseorang itu  dari proses asimilasi dan akomodasi sehingga pengalaman yang lebih khusus ialah pengetahuan yang tertanam dalam benak sesuai dengan skemata yang dimiliki seseorang. Skemata itu tersusun dengan upaya dari individu peserta didik yang telah bergantung kepada skemata yang telah dimiliki seseorang (Handoyo, 1998; 4-5).

Pembelajaran kontekstual bertujuan untuk membantu peserta didik memahami materi pelajaran yang sedang mereka pelajari dengan menghubungkan pokok materi pelajaran dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, seperti berikut ini. Pertama, membuat hubungan yang bermakna (making meaningful conections), yaitu membuat hubungan antara subjek dengan pengalaman atau antara pembelajaran dengan kehidupan nyata peserta didik sehingga hasilnya akan bermakna dan makna ini akan memberi alasan untuk belajar. Kedua, Melakukan pekerjaan yang berarti (doing significant work), yaitu dapat melakukan pekerjaan atau tugas yang sesuai. Ketiga, melakukan pembelajaran yang diatur sendiri (self regulated learning), yaitu: (1) siswa belajar melalui tatanan atau cara yang berbeda-beda bukan hanya satu, mereka mempunyai ketertarikan dan talenta (bakat) yang berbeda; (2) membebaskan peserta didik menggunakan gaya belajar mereka sendiri, memproses dalam cara mereka menekspolrasi ketertarikan masing-masing dan mengembangkan bakat dengan intelegensi yang beragam sesuai dengan selera mereka; (3) proses pembelajaran yang melibatkan peserta didik dalam aksi yang bebas mencakup kadang satu orang, biasanya satu kelompok. Aksi bebas ini dirancang untuk menghubungkan pengetahuan akademik dengan kontek kehidupan sehari-hari peserta didik dalam mencapai tujuan yang bermakna. Tujuan ini dapat berupa hasil yang terlihat maupun yang tidak. Keempat, bekerjasama (collaborating), yaitu proses pembelajaran yang melibatkan peserta didik dalam satu kelompok. Kelima, berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking), yaitu pemikiran krits adalah: (1) proses yang jelas dan terorganisir yang digunakan dalam kegiatan mental, seperti penyelesaian masalah, pengembilan keputusan, membujuk, menganalisis asumsi, dan melakukan penelitian ilmiah; (2) kemampuan untuk mengevaluasi secara sistematis, sedangkan pemikiran kreatif adalah kegiatan mental yang memupuk ide-ide asli dan pemahaman-pemahaman baru. Keenam, membantu individu untk tumbuh dan berkembang (nurturing the individual), yaitu menjaga dan mempertahankan kemaujaun individu. Hal ini menyangkut pembelajaran yang dapat memotivasi, mendukung, menyamangati, dan memunculkan gairah belajar peserta didik. Pembelajar harus memberi stimuli yang baik terhadap motivasi belajar peserta didik dalam lingkungan sekolah. Pembelajar diharapkan mampu memberi pengaruh baik terhadap lingkungan belajar peserta didik. Antara pembelajar dan orang tua mempunyai peran yang sama dalam mempengaruhi kemampuan peserta didik. Pencapaian perkembangan peserta didik tergantung pada lingfkungan sekolah, juga pada kepedulian perhatian yang diterima peserta didik terhadap pembelajaran (termasuk orang tua). Hubungan ini penting dan memberi makna pada pengalaman peserta didik nantinya di dalam kelompok dan dunia kerja. Ketujuh, mencapai standar yang tinggi (reaching high standars), yaitu menyiapkan peserta didik mandiri, produktif dan cepat merespon atau mengikuti perkembangan teknologi dan zaman. Dengan demikian dibutuhkan penguasaan pengetahuan dan keterampilan sebagai wujud jaminan untuk menjadi orang yang bertanggung jawab, pengambil keputusan. Kedelapan, menggunakan penilaian yang sesungguhnya (using authentic assessement), yaitu ditujukan pada motivasi peserta didik menjadi unggul di era teknologi, penilaian sesungguhnya ini berpusat pada tujuan, melibatkan keterampilan tangan, penerapan, dan kerjasama serta pemikiran tingkat tinggi yang berulang-ulang. Penilaian itu bertujuan agar para peserta didik dapat menunjukkan penguasaan dan keahlian yang sesungguhnya dan kedalaman berpikir dari pengertian, pemahaman, akal budi, kebijaksanaan dan kesepakatan (Johnson, 2002; 24-25).

Praktik pembelajaran kontekstual meliputi; (1) peserta didik aktif belajar; (2) peserta didik bel;ajar dari satu peserta didik ke peserta didik lain melalui kersama, tim kerja, dan refleksi diri; (3) pembelajaran hubungan dengan dunia nyata dan atau isu-isu simulasi dan masalah-masalah yang bermakna; (4) peserta didik bertanggung jawab untuk memantau dan mengembangkan pembelajaran mereka sendiri; (5) menghargai pendekatan konteks kehidupan peserta didik dan pengalaman-pengalaman peserta didik sebelumnya merupakan dasar dari pembelajaran; (6) peserta didik merupakan partisipasi yang aktif di dalam peningkatan masyarakat; (7) pembelajaran peserta didik dinilai dengan berbagai cara; (8) perspektif dan pendapat peserta didik memiliki nilai dan dihargai; (9) pembelajar bertindak sebagai fasilitator dalam pembelajaran peserta didik; (10) pembelajar menggunakan berbagai teknik pembelajaran yang tepat; (11) lingkungan pembelajaran dinamis dan menyenangkan; (12) menekankan pada berpikir tingkat tinggi dan pemecahan masalah; (13) peserta didik dan pembelajar disiapkan untuk bereksperimen dengan pendekatan-pendekatan kreativitas seseorang; (14) proses pembelajaran sama pentingnya dengan konteks yang dipelajari; (15) pembelajaran terjadi dalam seting dan konteks ganda; (16) pengetahuan merupakan antar disiplin dan diperluas tidak hanya sebatas di dalam kelas; (17) dosen/guru menerima perannya sebagai pembelajar juga; (18) peserta didik mengidentifikasi dan memecahkan masalah dalam konteks baru (Schell dalam Direktorat Pendidikan Umum, 2002; 21-22).

Berdasarkan uraian di atas bahwa filosofi pembelajaran kontekstual, yaitu; (1) peserta didik sebagai subjek belajar; (2) peserta didik memperoleh kesempatan lebih untuk meningkatkan hubungan kerjasama antar teman; (3) peserta didik memperoleh kesempatan lebih untk mengembangkan aktivitas, kreativitas, sikap kritis, kemandirian, dan mampu mengkomunikasikan dengan orang lain; (4) peserta didik lebih memiliki peluang-peluang untuk menggunakan keterampilan-keterampilan dan pengetahuan baru yang diperlukan dalam kehidupan yang sebenarnya; (5) tugas pembelajar adalah sebagai fasilitator.

Secara sederhana proses pembelajaran dengan strategi pembelajaran kontekstual dapat divisualisasikan dengan gambar berikut ini:

Gambar 1.  Proses Pembelajaran dengan Strategi Pembelajaran Kontekstual

b. Pembelajaran Konvensional

Menurut Brandes et al bahwa dalam kelas konvensional adalah pendidik merupakan orang yang (1) mempunyai banyak informasi, (2) bekerja untuk memindahkan pengetahuan, (3) bertanggung jawab untuk mengajar pemelajar, (4) membuat pemelajar bekerja, (5) dewasa, dan profesional, mempunyai keahlian untuk membuat keputusan yang benar tentang belajar pemelajar (Donna Brandes, Paul Ginnis, 1986; 201). Selanjutnya Edward berpendapat bahwa dalam kelas konvensional dalam pembelajaran, pembelajar menggunakan buku teks untuk setiap mata pelajaran yang mereka ajarkan. Pendidik mendengarkan dan membaca bagian-bagian yang sama dari buku tersebut dan melakukan tugas yang sama setiap hari atau sebagai yang dimuat oleh pembelajar dari sebuah buku teks (Edward Wish, tt; 210). Edward mengemukan bahwa kebanyakan kelas-kelas yang konvensional menggunakan metode-metode mengajar yang paling tradisional (Edward Wish, tt; 2). Agar tercipta metode belajar verbal yang bermakna, maka pemelajar harus berperan aktif, secara terlihat ataupun tidak selama proses pembelajaran. Proses pembelajarannyapun disesuaikan untuk dapat memfasilitasi operasi mental aktif yang disebut pembelajaran searah-aktif (Bruce Joyce and Marsha Wail, 1996; 18).

Demikian juga strategi pembelajaran yang digunakan oleh pembelajar (dosen, guru) untuk menyajikan bahan pelajaran secara utuh atau menyeluruh, lengkap dan sistematis, dengan menyampaikan secara verbal. Pembelajaran ini tidak lebih dari metode ceramah yang dimodifikasikan sedemikian rupa, sehingga para mahasiswa tidak hanya tinggal diam secara pasif seperti dalam pembelajaran ceramah yang tradisional (Muhibbin Syah, 1997; 245). Demikian juga menurut pandangan tokoh pembelajaran contextual teaching and learning, bahwa tidak ada perbedaan mendasar format antara program pembelajaran konvensional dengan program pembelajaran kontekstual. Sekali lagi, yang membedakannya hanya pada penekanannya. Program pembelajaran konvensional lebih menekankan pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan operasional), sedangkan program untuk pembelajaran kontekstual lebih menekankan pada skenario pembelajarannya (Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2003; 22-23).

Menurut Cox, dalam kelas tradisional, peserta didik (1) menerima pelajaran secara pasif, (2) meniru apa yang dimodelkan pembelajar, (3) mengikuti pengarahan dari pembelajar atau buku-buku teks, (4) dinilai pada penguasaan keterampilan dalam urutan hierarki, (5) dikelompokkan menurut kemampuan, (6) mengerjakan tugas yang sama seperti peserta didik yang lain, (7) dinilai dengan membandingkan kerja dengan peserta didik lain, dan (8) berkompetisi dengan peserta didik lain (Carolle. Cox, 1999; 19). Burns mengemukakan bahwa dalam kelas tradisional, sebagian besar penekanan kurikulum matematika adalah untuk Mengajarkan aritmatika (berhitung) meliputi bagaimana: operasi (menambah, mengurangi, mengali, Membagi) terhadap (1) pecahan, (2) pecahan decimal, (3) persen. Peserta didik umumnya menghabiskan sebagian besar waktu dalam proses berhitung dan latihan dengan kertas dan pensil. Pemecahan masalah biasanya muncul pada perkembangan perhitungan, dengan Aplikasi masalah kata yang mengikuti pengajaran dan pelatihan setiap keterampilan berhitung (Marilyn Burn, 1992; 3).

Menurut Kellough, dalam pembelajaran konvensional, pembelajar bersifat otoriter, berpusat pada kurikulum, terarah, formal, informative, dan diktator, yang mengakibatkan situasi kelas berpusat pada pembelajar; dan tempat duduk peserta didik menghadap ke depan: peserta didik belajar abstrak, diskusi berpusat pada pembelajar, ceramah, peserta didik secara bersaing, sedikit pemecahan masalah, demonstrasi-demonstrasi dari peserta didik, pembelajaran dari yang sederhana kepada yang kompleks, dan pemindahan informasi dari pembelajar ke peserta didik (Richard D. Kellough, 1994; 82). Hal yang serupa dikemukakan oleh Bennet (1976) bahwa dalam kelas konvensional pendekatan progressif dalam belajar sebagai berikut: (1) materi diajarkan terpisah-pisah, (2) guru sebagai penyalur ilmu pengetahuan, (3) tidak ada kata pemelajar dalam perencanaan kurikulum, (4) penekanan pada ingatan, (5) penguatan secara ekternal, (6) terpusat pada standar akademis, (7)  ujian secara regular, (8) penekanan pada kompetensi, (9) mengajar klasikal, dan (10) sedikit penekanan pada pernyataan kreatif (Donna Brandes, Paul Ginnis, 1986; 11).

Strategi yang digunakan peserta didik mencoba memperhatikan dengan sungguh-sungguh dan menangkap apa yang diajarkan pembelajar, berkata dalam hati mereka masing-masing, mengerjakan latihan dengan langkah-langkah seperti yang diajarkan pembelajar. Kennedy dan Tipps berpendapat bahwa pembelajar yang otoriter akan mengakibatkan kurangnya variasi, penekanan pada ingatan dan kecepatan, mendesak untuk bekerja sendiri-sendiri, yang semuanya itu mengakibatkan peserta didik menderita kecemasan dalam pembelajaran matematika. Mereka juga menjelaskan bahwa pemelajar yang menderita kecemasan dalam pembelajaran matematika menemukan hanya ada satu jawaban yang benar dalam memecahkan masalah karena gurunya mengajarkan prosedur dalam menyesaikan masalah serta daftar aturan-aturan untuk mengerjakan hitungan. Selama itu, semua perlakuan yang seperti itu akan mengakibatkan tidak fleksibel dan tidak menjadi kreatif (Leonard M. Kennedy, 1994; 16).

Berikut ini digambarkan kelas-kelas konvensional dosen mengajar dengan menggunakan buku-teks, dan menjadi model. Mahasiswa secara pasif mendengarkan, mencatat, dan membaca bagian yang sama dari buku-buku, dan mencoba meniru apa yang dimodelkan dosen. Materi perkuliahan disampaikan dengan metode ceramah, sekali-kali dilakukan tanya jawab antara mahasiswa dan dosen, dan pemberian  contoh materi oleh dosen. Pada gambar di bawah ini digambarkan perlakuan dalam perkuliahan.

Gambar 2.  Proses Pembelajaran dengan Strategi Pembelajaran Konvensional

BERTANDANG Tradisi yang Hilang

Tinggalkan komentar

Bertandang adalah pergi ke rumah seseorang untuk melakukan silaturrahmi, berdiskusi, bertanya, dan mendapatkan suatu informasi. Istilah bertandang sangat dikenal dalam masyarakat Melayu yang berdiam di kabupaten Merangin, Muara Bungo, Muara Tebo, Sarolangun, Kerinci, Muaro Jambi, dan Batang Hari.

Kemajuan dan modernisasi sangat banyak mempengaruhi tradisi dan budaya manusia, kita merindukan suatu tradisi lama masih dipakai oleh masyarakat, ia tidak bertahan lama dipakai oleh masyarakat karena tradisi itu dianggap kuno dan tertinggal zaman, sebenarnya dalam tradisi dan budaya terdapat beberapa nilai positif yang dapat kita petik dan kita pelajari. Apakah suatu tradisi dan budaya lama itu tertinggal/kuno? Coba kita perhatikan masyarakat Jepang sampai hari ini masih tetap berkimono, kimono suatu tradisi lama yang dilestarikan. Sebenarnya banyak sekali tradisi dan budaya yang kita sudah tidak kenal dan mengetahuinya, seperti tradisi menumpang angat budaya anak muda yang sudah menghilang, menumpang angat bukan perempuan dan laki tidur bersama akan tetapi mereka memiliki tata krama untuk melakukan PDKT yang ditemani oleh orang tua pihak perempuan. Demikian juga tradisi bertandang adalah tradisi anak muda zaman dahulu, cara-cara mereka untuk melakukan penjejakan dan berkenalan melalui aturan-aturan adat setempat. Zaman dahulu hiburan terasa kurang dan tidak seperti sekarang, salah satu sarana hiburan anak muda adalah bertandang, sewaktu mereka bertandang mereka berbalas pantun antara laki dan perempuan, kemudian para bujangan masuk dan keluar kampung dengan bersuling di tangan, mereka piawai bersuling, dan terakhir tape merambah dunia mereka, masing membawa tape sembari mendengar dendang lagu yang dilantun oleh penyanyi ternama dan mereka ikut bernyanyi bersama.

Bertandang  adalah pendekatan seorang laki (perjaka) terhadap seorang perempuan (perawan) untuk melakukan pendekatan dan penjejakan. Waktu bertandang dilakukan pada malam hari setelah shalat Isa dan makan malam (biasa sekitar pukul 22.00 s.d 24.00), sebelum seorang laki-laki bertandang akan diberikan informasi melalui perantara oleh orang terdekat bahwa ada seseorang yang akan bertandang malam nanti ke rumah ini. Pihak perempuan akan memberitahukan kepada perantara bahwa ia bersedia menerima atau tidak, setelah terjadi kesepakatan pertandangan akan dilaksanakan oleh seorang laki-laki, kadang-kadang jika laki-laki yang bersangkutan merasa canggung dan kaku, ia akan membawa seseorang teman sebagai pedamping atau juru bicara, demikian pula pihak perempuan seorang anak gadis tidak dibiarkan sendirian akan tetapi didampingi oleh ibu atau neneknya. Adat melarang acara bertandang berdua-duaan di rumah, jika pertandangan kedepatan berduaan oleh masyarakat, maka mereka akan dikenakan denda adat (kambing satu, beras sepuluh gantang) pertandangan memiliki aturan tidak tertulis, duduknya seorang laki-laki yang bertandang harus dekat pintu masuk ke rumah dan tidak boleh masuk jauh ke dalam rumah.

Tempo dulu rumah adalah rumah panggung dengan penerang lampu taplok (lampu sumbu). Bertandang disamping silaturrahmi, pendekatan, dan hiburan, antara laki-laki dan pihak perempuan saling berpantun dan menjawab pantun menunjukkan isi hati mereka, biasanya mereka mempergunakan kata-kata kiasan dan bermakna. Tatkala sudah merasa satu perasaan, pertandangan akan bisa dilanjutkan pada malam-malam berikutnya tanpa perantara, cukup pihak laki-laki buatkan tanda siulan dan batuk di samping rumah, maka pihak perempuan mempersilakan naik ke rumah. Mereka yang telah menjalin cinta dan kasih sayang menandainya dengan tukar menukar tanda mata, seperti sapu tangan, kain panjang, kain sarung, cincin, dan tanda mata lainnya.

Pertandangan merupakan cikal bakal untuk merajut rumah tangga, manakala seorang laki-laki dan seorang perempuan telah sepakat bahwa mereka melanjutkan ke jenjang rumah tangga, dia (perempuan) melaporkan kehadapan orang tuanya bahwa dia akan dipinang oleh pihak laki-laki oleh mamak (paman) nenek yang empat dan puyang yang delapan datang ke rumah pihak perempuan, pihak perempuan juga menyiapkan penyambutnya dengan nenek yang empat dan puyang delapan. Mereka (pihak laki-laki) melamar dan jika lamaran itu diterima biasanya diteruskan pada penentuan hari menikah dan walimatul urushnya serta penentua mahar perempuan.

Perkawinan seorang anak perempuan bagi orang tua suatu kewajiban yang harus dipikul dalam istilah adat dak kayu jenjang dikeping, dak meh bungka diasah bahwa pekwainan itu mesti dilaksanakan. Maka nenek mamak melakukan kesepakatan untuk menikahkan anak keponakannya untuk saling bahu membahu kecik samo dicacah, gedang samo dilapah artinya tanggung jawab dipikulkan bersama-sama untuk membantu orang tua anak keponakannya “ringan sama dijinjing dan berat sama dipikulkan”.

Tradisi bertandang lambat laun memudar dan menghilang seiring dengan perkembangan pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya di tengah masyarakat, pendidikan yang tinggi di tengah masyarakat yang membuat tradisi bertandang tidak lagi dilakukan, mereka sudah berkirim surat, bertemu di sekolah, di jalan, di pasar, dan di berbagai tempat. Kemudian juga teknologi seperti media, penerang listrik, dan informasi juga membuatkan tradisi bertandang memudar dan menghilang, akan tetapi antara satu tempat dengan tempat lain tradisi bertandang juga berbeda karena sangat ditentukan modernisasi dan adat istiadat yang diakomodasinya, memudar dan hilangnya tradisi bertandang sejak tahun 1980-an.  Bertandang suatu tradisi masyarakat melayu tradisional yang tergilas oleh modernisasi zaman. Tempo dulu anak perempuan dan laki-laki sekolah sebatas SD setelah itu dibesarkan dan didik oleh lingkungannya, perkawinan rata-rata diusia muda berlainan dengan sekarang bahwa perkawinan itu dilaksanakan tatkala kedua belah pihak matang untuk berkeluarga, minimal usia perempuan menikah berumur 16 tahun dan laki-laki 18 tahun. Jika perkawinan dilaksanakan di bawah umur ini pihak orang tua dapat dipenjarakan karena melanggar Undang-undang perkawinan.

Nama Desa-desa di pinggiran Aliran Batang Merangin Kabupaten Merangin

Tinggalkan komentar

  1. I. Kecamatan Ranah Pemarap

  1. Desa Parit,
  2. Desa Guguk,
  3. Desa Air Batu
  1. II. Kecamatan Bangko Barat
  1. Desa Biuku Tanjung
  2. Desa Pulau Rengas Ulu
  3. Desa Pulau Rengas Ilir

III. Kecamatan Bangko

  1. Desa Kungkai
  2. Desa Bangko Rendah
  3. Desa Bangko Tinggi
  4. Dusun Mudo

IV. Kecamatan Pemenang Barat

  1. Desa Tanjung Lamin
  2. Desa Limbur Merangin
  3. Desa Papit
  4. Desa Karang Anyar
  5. Desa Karang Birahi
  6. Desa Jelatang
  1. V. Kecamatan Pemenang
  1. Desa Pemenang
  2. Desa Karoya
  3. Desa Tanjung Gedang
  4. Desa Pamnao
  5. Desa Batu Kucing

Akulturasi Kebudayaan

Tinggalkan komentar

PENDAHULUAN

Budaya dapat didefinisikan sebagai satu kelompok yang melakukan kelangsungan hidup dan beradaptasi terhadap lingkungannya. Demikian juga menurut akar kata bahasa Indonesia “budaya” berasal dari “budi” dan “daya”, artinya budi yang diberdayakan dan berpengaruh terhadap lingkungan sekitarnya. Multicultural memiliki arti “beragam budaya” selalu mendapat perhatian dari kalangan akademisi karena budaya adalah hasil dari pendidikan, pendidikan merupakan pemindahan budaya (transfer of culture) dan memperkayakan budaya. Banks (1997; 25) menyebutkan sekolah merupakan sistem sosial dan sekolah merupakan lingkungan yang efektif terhadap beragam budaya (multicultural), lembaga sekolah merupakan sistem budaya,  sekolah merupakan budaya, kebijakan, politik, dan diisikan dengan kurikulum serta proses pembelajaran.

Pendidikan multicultural sangat diperlukan karena manusia sangat dibelenggu oleh bingkai ras, suku, budaya, warna kulit , kelas sosial, gender, dan agama, sebenarnya variabel ini perlu berinteraksi untuk menumbuh suatu kekuatan diri dalam bermasyarakat dan bernegara. Akan tetapi masih terdapat sebagian kelompok yang belum mampu merima budaya lain ke dalam budayanya. Komunikasi antar budaya akan menciptakan manusia yang berharkat dan bermartabat di tengah-tengah persaingan global, lembaga pendidikan diharapkan akan mampu menjadi perekat terhadap beragam budaya yang ada.

Analisis buku ini membicarakan proses enkulturasi kebudayaan, psikologi sekolah multikultural tentang pelayanan staf, psikologi  sekolah multikultural tentang pengawasan profesional, psikologi sekolah multikultural tentang pelatihan sebagai pendidikan yang berkelanjutan.

RINGKASAN BUKU

Halaman 24 -26

Proses Enkulturasi Kebudayaan

Mempersatukan kerangka pemikiran dan psikologi dapat membantu untuk melihat perubahan besar terhadap enkulturasi kebudayaan yang berbeda. Hal ini mungkin saja bisa berguna dalam proses enkulturasi kebudayaan yang paling pokok. Gibbs, Huang dan asosiasinya (1998) telah mengidentifikasikan beberapa jalan kecil. Untuk masyarakat Puerto Rico, mereka mengidentifikasikan pengalaman para remaja, dalam hal tata cara bergaul, kebudayaan, generasi, sosial economy, dan perkembangan. Mereka melihat bahwa anak – anak Cina dan juga para remaja Cina melakukan sebuah enkulturasi dalam sebuah dunia yang spesifik yaitu melalui gelombang imigrasi atau perpindahan, dan menurut Panggung Sluzki (1979) bagian ini telah dikelompokkan menjadi 5 bagian. Untuk para anak – anak dan  remaja Amerika India, Mohatt dan Blue (1982) menyatakan bahwa hal itu diukur melalui skala tradisionalitas.

ANALISIS BUKU

Berbicara tentang enkulturasi kebudayaan berarti membicarakan seluk beluk antropologi yaitu membicarakan tentang kotak-kotak kebudayaan (culture contact). Penelitian terhadap studi enkulturasi di Amerika, bermula dari reaksi terhadap suatu upaya rekonstruksi “memory culture”. Kajian enkulturasi kebudayaan berawal dari Inggeris, Perancis, dan Belanda untuk memecahkan masalah-masalah praktis di daerah penjajahan; juga faktor utama yang menyebabkan semakin populernya kajian ini. Sementara di Amerika perkembangan pesat dari studi enkulturasi adalah lebih berkaitan dengan berbagai masalah sosial yang timbul sebagai akibat masa depresi ekonomi (malaise). ( Hari Poerwanto, 1997; 56).

Definisi enkulturasi yang sistematik, pertama kalinya dikemukakan oleh Redfield, Linton dan Herskovits (1936): “Acculturation comprehends these phenomena which result when groups of individuals having different cultures come into continous first-hand contact, with subsequent changes in the original cultural patters of either or both groups”. Sementara itu terdapat kritikan yang meluas tentang pembatasan tersebut, dan kemudian beberapa penulis melakukan modifikasi; termasuk juga dilakukan oleh tiga orang tersebut di atas. Sekalipun demikian, umumnya mereka tetap berpegang pada definisi tadi sekalipun memahaminya diperlukan beberapa pertimbangan untuk selalu melihat dalam keterkaitannya dengan keseluruhan dari isi memorandum. Beberapa point yang sangat sulit untuk ditafsirkan adalah (1) apa sebenarnya pengertian “continous first-hand contact”; (2) apa pengertian dari “groups of individuals”; (3) bagaimanakah hubungan antara enkulturasi dengan konsep perubahan kebudayaan dan defusi; (4) bagaimanakah hubungan antara enkulturasi dan asimilasi; dan (5) apakah enkulturasi sebagai suatu proses ataukah menunjukkan pada suatu keadaan (a process or a condition).

Dalam salah satu tulisan Thurnwald (1932) bahkan mengatakan bahwa enkulturasi “Acculturation is a process, not an isolated event”, sebagai implikasi dari pernyataannya itu, ia lebih menekankan suatu proses yang terjadi pada tingkat individual, karenanya “suatu proses adaptasi terhadap kondisi kehidupan baru” itulah yang disebut enkulturasi.  Selain itu juga berpendapat bahwa “suatu hubungan bukan hanya peristiwa tunggal semata tetapi secara tidak langsung dapat diputar dari kedudukan tombolnya yang hampir menyerupai serangkaian gerakan-gerakan yang hampir selesai terjadi; kesemuanya itu adalah sebagai suatu proses dengan perbedaan tahapan”.

Imran Manan, PhD, (1989; 9) menyebutkan enkulturasi dalam arti luas, pendidikan termasuk ke dalam proses umum, di mana seseorang anak bertumbuh diinisiasikan ke dalam cara hidup dari masyarakatnya. Pendidikan mencakup setiap proses, kecuali yang bersifat genetic, yang menolong membentuk pikiran, karakter, atau kapasitas fisik seseorang. Proses tersebut berlangsung seumur hidup, karena kita harus mempelajari cara berpikir dan bertindak yang baru dalam perubahan besar dalam hidup kita. Dalam arti sempit pendidikan, adalah penanaman pengetahuan, keterampilan dan sikap pada masing-masing generasi dalam menggunakan pranata-pranata, seperti sekolah-sekolah yang sengaja diciptakan untuk tujuan tersebut. Istilah pendidikan juga berarti disiplin ilmu (termasuk psikologi, sosiologi, sejarah, dan filosofi pendidikan).

Pendidikan di sekolah hanya merupakan salah satu alat enkulturasi – pendidikan yang lain, mencakup keluarga, gereja, kelompok sebaya dan media masa masing-masing dengan nilai-nilai dan tujuan-tujuannya sendiri. Demikian pula pendidik mungkin ingin menanamkan kualitas tertentu pada anak-anak, seperti berpikir bersih dan pertimbangan bebas, namun pendidik terbatas kesanggupan untuk berbuat demikian karena kenyataannya badan-badan lain mungkin membentuk anak secara berbeda. Televisi, umpamanya, kadang-kadang berusaha memberi informasi, tetapi kebanyakan TV memberi hiburan, kadang-kadang sensasi, dan secara tetap “menjualkan” melalui insinuasi, penonjolan, dan bujukan.

Conny R. Semiawan (2007; 118) menyebutkan bahwa pendidikan itu merupakan “proses membebaskan diri”, di mana insan manusia memperoleh peluang mengaktualisasi diri secara optimal “to become what he is capable of”, suatu upaya untuk memberdayakan manusia sesuai kemampuan yang ada padanya dan sesuai pilihannya sendiri. Ini adalah suatu pengembangan kemampuan manusia (human capacity development, HCD). Pernyataan ini menggaris bawahi bahwa pendidikan membantu manusia untuk merubah dan mengembangkan dirinya serta meng-enkulturasi diri bukan meng-diisolasikan diri.

Proses enkulturasi kebudayaan terdapat  beragam pendapat sebagaimana yang penulis sebut di atas, apakah enkulturasi merupakan; ;continous first-hand contact”;   groups of individuals; bagaimanakah hubungan antara enkulturasi dengan konsep perubahan kebudayaan dan defusi; bagaimanakah hubungan antara enkulturasi dan asimilasi; dan a process or a condition. Enkulturasi merupakan proses kebudayaan dan berkaitan dengan “Sistem nilai budaya dalam kebudayaan” dari semua kebudayaan yang ada di dunia.  Kerangka ini telah dikembangkan oleh seorang ahli antropologi, Clyde Kulkckhohn. Sesudah ia meninggal, konsepnya dikembangkan lebih lanjut oleh istrinya Florence Kulkckhohn, yang dengan kerangka itu kemudian melakukan suatu penelitian yang nyata. Uraian tentang konsep itu bersama hasil penelitiannya dimuat dalam sebuah buku berjudul Variations in value Orientation (1961), yang ditulisnya bersama dengan seorang ahli sosiologi bernama F.L. Strodtbeck. Kerangka Kulkckhohn dapat dilihat pada tabel berikut ini;

Masalah dasar dalam hidup

Orientasi Nilai- budaya

Hakekat hidup

(MH)

Hidup itu buruk Hidup itu baik Hidup itu buruk, tetapi manusia wajib berikhtiar supaya hidup itu menjadi baik
Hakekat karya

(MK)

Karya itu untuk nafkah hidup Karya itu untuk kedudukan, kehormatan, dan sebagainya Karya itu untuk menambah karya
Persepsi Manusia tentang waktu

(MW)

Orientasi ke masa depan Orientasi ke masa lalu Orientasi ke masa depan
Pandangan manusia tentang alam

(MA)

Manusia tunduk kepada alam yang dahsyat Manusia berusaha menjaga keselarasan dengan alam Manusia berhasrat menguasai alam
Hakekat hubungan antara manusia dengan sesamanya

(MM)

Orientasi kolateral(horizontal), rasa ketergantungan pada sesamanya (berjiwa gotong royong) Orientasi vertikal, rasa ketergantungan kepada tokoh-tokoh atasan dan berpangkat Individualisme menilai tinggi usaha atas kekuatan sendiri

Menurut Koentjaraningrat (1994; 25) bahwa sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi, yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup.

Kemudian R. G. Paulston dan D. Lejeune (1980; 37) menggambarkan pendidikan berfungsi dan menghubungkan antara beberapa variabel berikut ini;

Berbagai variabel lain yang diduga berpengaruh terhadap terjadinya enkulturasi juga perlu digali lebih lanjut, misalnya yang berkaitan dengan properties cultural system. Yang termasuk dalam variabel tersebut antara lain (1) suatu mekanisme pengatur batas-batas (boundary-maintaining mechanisms) yang ditemukan, apakah sistem terbuka atau tertutup; (2) secara relatif, apakah struktur internal dari sistem budaya adalah kaku (rigidity) ataukah fleksibel; (3) ciri-ciri dan fungsi dari mekanisme self-correction dari sistem budaya. Dalam penerapannya, berbagai variabel tadi tidak diperlukan hanya sebagai kelengkapan dari variabel sistem budaya yang mengakibatkan enkulturasi. Dalam hal ini, berbagai hal dari ketiga komponen budaya yang mengakibatkan enkulturasi. Dalam hal ini dari ke tiga komponen di atas yang terjadi adalah sangat relevan dan sangat penting bagi, dan agaknya sampai sekarang tidak banyak analisis mengenai hal tersebut yang dikaitkan dengan studi enkulturasi.

Pada umumnya, salah satu ukuran yang dapat dipakai sebagai pembeda dalam suatu sistem budaya yang mungkin secara objektif dapat diuji dan signifikan adalah variasi dari mekanisme boundary-maintaing. Hal itu dapat berupa teknik-teknik maupun idiologi dalam rangka suatu sistem sehingga memungkinkan terjadinya pembatasan partisipasi di kalangan in group. Dalam suatu kebudayaan, untuk menjadi bagian dari warganya, terdapat suatu sistem di mana hanya individu-individu tertentu dengan suatu seleksi ketat, dapat menjadi anggota. Biasanya, mereka yang dapat diterima sebagai anggota, adalah orang-orang yang bersedia conform terhadap nilai-nilai tertentu yang dianggap penting dari suatu kebudayaan. Agaknya, secara relatif ada atau tidak adanya boundary-maintaining mechanism dapat dipakai sebagai suatu alat untuk membatasi para warga yang dianggap layak sebagai anggotanya. Diharapkan, melalui mekanisme ini sebagai perisai terhadap pengaruh asing. Sementara itu ada pula beberapa sistem yang pada keseluruhan tingkatan dalam kebudayaan tadi adalah terbuka bagi para anggotanya tetapi sangat dijaga secara hati-hati dari pengaruh asing, misalnya dalam bentuk adat istiadat tertentu.

Beberapa contoh dari boundary-maintaining mechanism spesifik yang mungkin dijalankan pada sistem tertutup  misalnya; untuk menjadi anggota harus melalui upacara inisiasi; upacara pembersihan diri guna memperbaharui pengenalan sebagai anggota in-group, yaitu setelah ia tidak berada dalam lingkungan masyarakatnya selama jangka waktu tertentu; misalnya “kegiatan rahasia’ yang diperuntukkan hanya bagi anggota kelompok saja; berbagai kegiatan lainnya dalam rangka menumbuhkan kesetiaan kepada tanah tumpah darah; selalu menumbuhkan konsep jati-diri misalnya melalui etnosentrisme atau resisme; kembali ke wilayah tugasnya semula; dan sebagainya.

Berbagai tipologi lain yang secara relatif penting adalah yang mendasarkan atas derajat “kekakuan”  dan” keluwesan” dari struktur internal dari suatu sistem budaya. Ketetatan atau kekakuan, biasanya disebabkan oleh kurangnya interrelasi yang berlaku dalam salah satu nilai  tertentu yang juga secara keseluruhan berlaku pada struktur masyarakat, atau hanya berlaku pada hal-hal `tertentu yang dianggap penting dalam suatu struktur sosial. Jika ada yang          `melanggar maka ada suatu sistem sangsi yang diberikan oleh seorang atau beberapa elite penguasa. Dengan sendirinya, derajat integrasi yang dihasilkan tidak dapat dipakai sebagai dasar untuk meramalkan reaksi dari suatu hubungan. Pada umumnya, sistem yang kaku dengan sendirinya resisten terhadap perubahan.

Sementara itu boundary maintaining mechanism adalah lebih menunjuk atribut ketegangan yang ada dipermukaan dari “organisme” suatu kebudayaan; sementara itu self correcting mechanism lebih menunjuk pada kemampuan dari “organisme” kebudayaan untuk mengganti fungsi dan melakukan adaptasi secara internal, yaitu terlepas hal tersebut merupakan suatu mekanisme melindungi dari pengaruh luar. Hal tersebut yang juga bermanfaat dalam studi enkulturasi adalah analisis tentang kekuatan-kekuatan apakah yang mampu membuat keseimbangan dalam suatu struktur sosial tertentu. Untuk itu, pokok kajian lebih dipusatkan kepada kualitas dinamika mereka dan variansi potensinya. Dimensi konseptual yang dikenal adalah perjuangan kekuatan dan kedudukan yang bersifat overt dan cover, kecendrungan memecah belah golongan, dan tensi yang sentrifugal yang dihasilkan oleh kemungkinan penolakan yang dilakukan oleh seseorang dari suatu kelompok. Diasumsikan pada umumnya, jika tidak mungkin semuanya, suatu sistem pada beberapa tingkatan mengalami tingkatan mengalami konflik, baik yang tersembunyi atau yang tampak jelas, kontradeksi atau berlawanan dengan kepentingan di antara segmen masyarakat tertentu; dan bahkan  dalam kelompok di mana tidak pernah konflik besar. Apakah itu semua benar atau dapat menyesuaikan diri dengan tujuan seperti yang digambarkan dalam status dan peranan, baik yang ascribed maupun achieved. Dapat dikatakan bahwa tidak ada suatu cara apapun bahwa ada sistem penghargaan atau reward akan dapat mampu menahan timbul frustasi. Bertitik tolak dari asumsi ini maka harus ada  implementasi kekuatan counter yang tegas, sehingga pola-pola dari social order tertentu dapat teratur kembali.

Maciver (1937; 272) menyebutkan culture sebagai eksperesi jiwa yang terwujud dalam cara-cara hidup dan berpikir, pergaulan hidup, seni kesusastraan, agama, rekreasi dan hiburan. Sebuah potret, novel, drama, film, permainan, filsafat dan sebagainya, termasuk culture, karena hal-hal itu secara langsung memenuhi kebutuhan manusia. Dengan pernyataan itu, Maciver mengeluarkan unsur materiil dari ruang lingkup culture.

Soerjono Soekanto (1982; 272) dalam bukunya menyebutkan contoh enkulturasi kebudayaan, di mana kepadatan penduduk di pulau Jawa, telah melahirkan berbagai perubahan dengan pengaruh yang besar. Areal tanah yang dapat diusahakan menjadi lebih sempit; pengangguran tersamar kian tampak di desa-desa. Meraka tidak mempunyai tanah menjadi buruh tani dan banyak wanita serta anak-anak yang menjadi “buruh” potong padi pada waktu panen. Sejalan dengan itu, terjadi pula proses individualisasi milik tanah. Hak-hak ulayat desa semakin luntur karena areal tanah tidak seimbang dengan kepadatan penduduk. Timbullah bermacam-macam lembaga hubungan kerja, lembaga gadai tanah, lembaga bagi hasil dan seterusnya, yang pada pokoknya bertujuan untuk mengambil manfaat yang sebesar mungkin dari sebidang tanah yang tidak begitu luas. Warga masyarakat hanya hidup sedikit di atas standar minimal. Keadaan atau sistem sosial yang demikian oleh Clifford Geertz disebut shared poverty.

Menurut Clifford Geertz ( 1956; 13) perubahan yang dikehendaki atau direncanakan merupakan perubahan yang diperkirakan atau yang telah direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak mengadakan perubahan di dalam masyarakat. Pihak yang menghendaki perubahan dinamakan agent of change, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan.

Perubahan sosial yang tidak dikehendaki atau yang tidak direncanakan merupakan perubahan-perubahan yang terjadi tanpa dikehendaki, berlangsung di luar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menyebab timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan masyarakat.

Agent of change memimpin masyarakat dalam mengubah sistem sosial. Dalam melaksanakannya, agent of change langsung tersangkut dalam tekanan untuk mengadakan perubahan. Bahkan mungkin menyiapkan pula perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Suatu perubahan yang dikehendaki atau yang direncanakan selalu berada di bawah pengendalian serta pengawasan agent of change tersebut (Selo Soemardjan, 1964; 380-381). Cara-cara mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan lebih dahulu dinamakan rekayasa sosial (social engineering) atau sering pula dinamakan perencana sosial (sosial planning) (Henry Pratt Fairchild, 1976; 282).

Perubahan sosial yang tidak dikehendaki atau yang tidak direncanakan merupakan perubahan-perubahan yang terjadi tanpa dikehendaki, berlangsung di luar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan masyarakat. Apabila perubahan yang tidak dikehendaki tersebut berlangsung bersamaan dengan suatu perubahan yang dikehendaki, perubahan tersebut mungkin mempunyai  pengaruh yang demikian besarnya terhadap perubahan-perubahan yang dikehendaki. Dengan demikian, keadaan tersebut tidak mungkin diubah tanpa mendapat halangan-halangan masyarakat itu sendiri. Atau dengan kata lain, perubahan-perubahan yang dikehendaki diterima oleh masyarakat dengan cara mengadakan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada atau dengan cara membentuk yang baru. Sering kali terjadi perubahan yang dikehendaki bekerjasama dengan perubahan yang tidak dikehendaki dan kedua proses tersebut saling mempengaruhi.

Konsep perubahan yang dikehendaki dan yang tidak dikehendaki tidak mencakup paham apakah perubahan-perubahan tadi diharapkan atau tidak diharapkan oleh masyarakat. Mungkin suatu perubahan yang tidak dikehendaki sangat diharapkan dan diterima oleh masyarakat. Bahkan para agent of change yang merencanakan perubahan-perubahan yang dikehendaki telah memperhitungkan terjadinya perubahan-perubahan yang tidak terduga (dikehendaki) di bidang-bidang lain. Pada umumnya sulit mengadakan ramalan tentang terjadinya perubahan-perubahan yang tidak dikehendaki. Karena proses tersebut biasanya tidak hanya merupakan akibat dari satu gejala sosial saja, tetapi dari pelbagai sosial sekaligus.

Suatu perubahan yang dikehendaki dapat timbul sebagai reaksi (yang direncanakan) terhadap perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan yang terjadi sebelumnya, baik yang berupa perubahan yang dikehendaki maupun yang tidak dikehendaki. Terjadinya perubahan-perubahan yang dikehendaki, perubahan-perubahan yang kemudian merupakan  perkembangan selanjutnya meneruskan proses. Bila sebelumnya terjadi perubahan-perubahan yang tidak dikehendaki, perubahan yang dikehendaki dapat ditafsirkan sebagai pengakuan terhadap perubahan-perubahan sebelumnya agar kemudian diterima secara luas oleh masyarakat.

Perubahan yang dikehendaki merupakan suatu teknik sosial yang oleh Thomas dan Znaniecki ditafsirkan sebagai suatu proses yang berupa perintah dan larangan. Artinya, menetraliskan suatu keadaan krisis dengan suatu akomodasi (khusus arbitrasi) untuk melegakan hilangnya keadaan yang tidak dikehendaki atau berkembangnya suatu keadaan yang dikehendaki. Legalisasi tersebut dilaksanakan dengan tindakan-tindakan fisik yang bersifat arbitratif. Selo Soemardjan, 1964; 388).

Untuk mempelajari perubahan masyarakat, perlu diketahui sebab-sebab yang melatari terjadinya perubahan itu, Apabila diteliti lebih mendalam mengenai sebab terjadinya suatu perubahan masyarakat, mungkin dikarenakan adanya suatu yang dianggap sudah tidak lagi memuaskan. Mungkin saja perubahan terjadi karena adanya faktor baru yang lebih memuaskan masyarakat sebagai pengganti faktor yang lama itu. Mungkin juga masyarakat mengadakan perubahan karena terpaksa demi untuk menyesuaikan suatu faktor dengan faktor-faktor lain yang sudah mengalami perubahan terlebih dahulu.

Gillin dan Gillin (1964; 740) menegaskan bahwa masalah sosial merupakan suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Atau, menghambat terpenuhinya keinginan-keinginan pokok warga  kelompok sosial tersebut sehingga menyebabkan kepincangan ikatan sosial. Dalam keadaan normal terdapat integrasi serta keadaan yang sesuai pada hubungan-hubungan antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, sebagaimana yang digambarkan di bawah ini.

Apabila antara unsur-unsur tersebut terjadi bentrokan, maka hubungan-hubungan sosial akan terganggu sehingga mungkin terjadi kegoyahan dalam kehidupan kelompok. Suatu kebudayaan mungkin berubah sedemikian rupa bila para anggota masyarakat merasa bahwa kebutuhan-kebutuhannya tak dapat dipenuhi oleh kebudayaan. Kebutuhan tersebut mungkin berupa kebutuhan biologi ataupun sosial. Secara biologis manusia mempunyai dua kebutuhan yang fundamental, yaitu kebutuhan pada makanan  dan hidup. Di samping kebutuhan-kebutuhan tersebut, atas dasar unsur biologis, berkembang pula kebutuhan-kebutuhan lain yang timbul karena pergaulan dalam masyarakat, yaitu kedudukan sosial, peranan sosial, dan sebagainya. Apabila individu tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial, hidupnya akan tertekan. Dan dia akan merasa bahwa kehidupan ini tak banyak gunanya.

Perumusan masalah sosial tidak begitu sukar, daripada usaha-usaha untuk membuat suatu indeks yang memberi petunjuk akan adanya masalah sosial tersebut. Para sosiolog telah banyak megusahakan adanya indeks-indeks tersebut seperti misalnya simple rates, yaitu laju gejala-gejala abnormal dalam masyarakat, angka-angka, bunuh diri, perceraian, kejahatan anak-anak, dan seterusnya. Seringkali juga diusahakan sistem composite insides, yaitu gabungan indeks-indeks dari bermacam-macam aspek yang mempunyai kaitan satu dengan lainnya.

Menurut Gillin dan Gillin, (1964, 505) akomodasi adalah suatu pengertian yang digunakan oleh para sosiolog untuk menggambarkan suatu proses dalam hubungan-hubungan sosial yang sama artinya dengan pengertian adaptasi (adaptation) yang digunakan oleh ahli-ahli biologi untuk menunjukkan pada suatu proses di mana makhluk-makhluk hidup menyesuaikan dirinya dengan alam sekitarnya. Dengan pengertian tersebut dimaksudkan sebagai suatu proses di mana orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia yang mula-mula saling bertentangan, saling mengadakan penyesuaian diri untuk mengatasi ketegangan-ketegangan. Sebenarnya pengertian adaptasi menunjukkan pada perubahan-perubahan organis yang disalurkan melalui kelahiran, di mana makhluk-makhluk hidup menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya sehingga dapat mempertahankan hidupnya.

Akomodasi sebenarnya merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya.

Tidak selamanya suatu akomodasi sebagai proses akan berhasil sepenuhnya. Di samping terciptanya stabilitas dalam beberapa bidang, mungkin sekali benih-benih pertentangan dalam bidang-bidang lainnya masih tertinggal, yang luput diperhitungkan oleh usaha-usaha akomodasi terdahulu. Benih-benih pertentangan yang bersifat laten tadi (seperti prasangka) sewaktu-waktu akan menimbulkan pertentangan baru. Dalam keadaan demikian, memperkuat cita-cita, sikap dan kebiasaan-kebiasaan masa-masa lalu yang telah terbukti mampu meredam bibit-bibit pertentangan merupakan hal penting dalam proses akomodasi, yang dapat melokalisasi sentimen-sentimen yang akan melahirkan pertentangan baru. Dengan demikian, akomodasi bagi pihak-pihak tertentu dirasakan menguntungkan, namun agak menekankan bagi pihak lain, karena adanya campur tangan kekuasaan-kekuasaan tertentu dalam masyarakat.

Akomodasi membuka jalan ke arah asimilasi, asimilasi sebagai salah satu bentuk proses-proses sosial yang erat kaitannya dengan proses dan pertemuan dua kebudayaan atau lebih. Oleh karenanya, istilah asimilasi dan enkulturasi dipergunakan dalam pengertian yang sama; dan sebagai akibat kedua pengertian yang diberikan kepada kedua istilah tersebut bertumpang tindih. Mengingat hal tersebut maka melalui The Social Research Council, sejak tahun 1930 telah mencoba perumusan yang lebih tepat mengenai perumusan enkulturasi. Perumusan enkulturasi dari Redfield, Linton, dan Herskovits dalam “Memorandum for the Study of Acculturation” masih tetap dikembangkan pada masa mendatang, antara lain dilakukan oleh Herskovits yang dimuat dalam Outline for the Study of Acculturation (Herskovits, 1958).

Pada dasarnya pengertian yang terkandung dalam istilah asimilasi dan enkulturasi; di samping mengandung pengertian yang sama, tetapi juga menunjukkan ada dimensi yang berbeda. Sebagai contoh pembatasan asimilasi yang dibuat oleh Robert E. Park dan Ernest W. Burgess (1921; 735), antara lain “… a process of interpretation and fusion in which persons and group acquire the memories, sentiments, and attitude of other persons or groups, and by sharing their experience and history are incorporated with them in a common cultural life”, sementara ketiga ahli antropologi di atas dalam memberikan pembatasan enkulturasi adalah “… comprehends those phenomena which result when groups of individual having different culture come into continous first hand contract, with subsequent changes in the original cultural patterns of either or both groups”.

Kesimpulan

Kesimpulan analisis di atas bahwa “Acculturation is a process, not an isolated event”, sebagai implikasi dari pernyataannya itu, ia lebih menekankan suatu proses yang terjadi pada tingkat individual, karenanya “suatu proses adaptasi terhadap kondisi kehidupan baru” itulah yang disebut enkulturasi. Enkulturasi merupakan proses kebudayaan dan berkaitan dengan “Sistem nilai budaya dalam kebudayaan” dari semua kebudayaan yang ada di dunia. Culture sebagai eksperesi jiwa yang terwujud dalam cara-cara hidup dan berpikir, pergaulan hidup, seni kesusastraan, agama, rekreasi dan hiburan dapat menjadi individu bernilai, demikian pula enkulturasi dapat mempengaruhi bentuk-bentuk pendidikan, pendidikan harus memperhatikan enkulturasi yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat. Tugas utama pendidikan adalah mengekalkan hasil-hasil prestasi kebudayaan, pendidikan pada dasarnya bersifat konservatif. Namun, sejauh ini pendidikan bertugas menyiapkan pemuda-pemuda untuk menyesuaikan diri kepada kejadian-kejadian yang dapat diantisipasi di dalam dan di luar kebudayaan, pendidikan telah merintis jalan untuk perubahan kebudayaan.

Daftar Pustaka

Geertz, Clifford, The Sosial Context of Economic: An Indonesia Case Study (MIT, Cambridge, 1956).

Gillin and Gillin, Cultural Sociology, a Revision of an Introduction to Sociology, (New York: The Macmillan Company, 1964).

Henry Pratt Fairchild and 100 authorities, Dictionary of Sociology and Related Science,(Littlefield, Adam & Co, Ames-Iowa, 1976).

Herskovits, Melville, J. Cultural Anthropology. (New York: Alfred A. Knopf., 1958).

Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta, PT. Gramedia, 1994).

Kulkckhohn, Clyde, Mirror for Man: The Relation of Anthropology to Modern Life (New York; Whittlesey House, 1949).

Linton, R. The Study of Man: An Introduction, (New York, Appleton Century Company, 1936).

Maciver, Society; A Textbook of Sociology, (New York: Farrar and Rinehart, 1937).

Manan, Imran, Anthropologi Pendidikan; Suatu Pengantar, (Jakarta, DIKTI Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989).

Park, Robert E,  dan Ernest W. Burgess. Introduction to the Science of Sociology. (Chicago: University of Chicago Press, 1921).

Paulston, Rolland G, Other Dreams, Other Schools: Folk Colleges in Sosial and Ethnic Movements, (Pittsburgh, University of Pittsburgh, 1980).

Poerwanto, Hari, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan, (Jakarta, DIKTI Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977).

Soekanto, Soerjono, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta, PT. Rajawali, 1982).

Soemardjan, Selo dan Soemardi, Soelaeman, Setangkai Bunga Sosiologi, (Jakarta: Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964).

Semiawan, Conny R, Catatan Kecil tentang Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta, Penerbit Kencana, 2007)

Format Laporan Penelitian Pengembangan

Tinggalkan komentar

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalas

B. Identifikasi Masalah

C. Perumusan Masalah

D. Kegunaan Hasil Penelitian

BAB II KAJIAN TEORETIK

A. Kajian Teoretik berkaitan dengan faktor/Variabel yang diteliti atau sistem pendukung judul yang akan dibahas

B. Teori-teori tentang Pengembang dari Bahan/Materi yang dijadikan Fokus

C. Hasil Penelitian yang Relevan

BAB III METODOLOGI

A. Tujuan

B. Tempat dan Waktu Penelitian

C. Metode Penelitian

D. Sasaran Klien (target clientele)

E. Langkah Riset Pengembangan

F. Perencanaan dan Penyusunan Bahan

G. Teknik Analisis Data

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengembangan Bahan/Materi

B. Field Testing (Uji Coba) dengan Revisi Bahan/Materi

C. Pengujian Keefektifan Bahan/Materi pada Target

D. Keterbatas Penelitian

BAB V KESIMPULAN, SARAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

B. Saran dan Rekomendasi

Daftar Pustaka

Lampiran

MEMPERTAJAMKAN DAYA TAHAN INGATAN DALAM PROSES BELAJAR

Tinggalkan komentar

  1. A. Pendahuluan

Seseorang risau dengan ingatan yang dia miliki lemah, mudah lupa, sering linglung, susah mengingatkan sesuatu, dan lain sebagainya. Mereka pada umumnya mengharapkan informasi yang didapatkan akan selalu dapat diingat, baik itu di kalangan siswa, mahasiswa, dan guru dalam proses pembelajaran, sering kita menjumpai seorang guru dan dosen yang kecewa terhadap peserta didiknya yang lupa terhadap informasi yang telah diberikan sebelumnya, pada hal ketika dilakukan evaluasi, peserta didik sangat menguasai informasi yang diberikan kepadanya. Lupa merupakan musuh besar dalam mengingatkan informasi, apakah lupa merupakan bakat? Apakah lupa merupakan sifat keturunan? Sebenar sifat-sifat seperti ini merupakan sifat normal manusia, manusia sering lupa, lemah mengingat, dan daya hafalan rendah[1]). Akan tetapi daya ingatan seseorang dapat dipertajam atau dioptimalkan kerjanya, tentu kita bertanya bagaimana caranya, otak memiliki memory[2]) untuk menyimpan informasi yang diperdapatkan dari panca indera, melalui perhatian, dan proses persepsi, kemudian tersimpan dalam ingatan atau memory, informasi tersebut akan tersimpan dalam waktu yang singkat atau dalam waktu yang lama. Informasi yang tersimpan  dalam jangka waktu singkat berarti informasi tersebut hanya masuk ke dalam ingatan jangka pendek (short term memory[3]), manakala informasi itu masuk ke dalam ingatan jangka panjang (long term memory[4]) ia akan tersimpan dalam waktu yang relatif lama, mulai dari satu menit sampai akhir hayat seseorang.

Manusia memiliki corak dan ragam yang berbeda mulai dari yang berbakat atau tidak berbakat, bakat yang terpantau dan bakat yang tidak terpantau, bakat yang mudah dididik, dilatih, dibimbing, dan diajar serta terdapat pula bakat yang sukar untuk didik, dilatih, dibimbing, dan diajarkan atau disebut orang yang tidak berbakat. Bakat adalah potensi yang dimiliki seseorang, potensi masing-masing manusia sudah dibawa semenjak lahir, baca teori empirisme[5]), nativisme[6]), konvergensi[7]), dan fitrah dalam Islam[8]).

Daya tahan ingatan manusia ada yang dapat dipertajamkan dan adapula yang sukar dipertajamkan atau ada juga yang tidak bisa sama sekali dipertajamkan. Secara Psikologis daya tahan ingatan dapat ditingkatkan sesuai dengan kemampuan ingatan (memory) yang dimiliki oleh masing-masing orang. Mempertajam daya ingatan dengan Mnemonics artinya mempergunakan strategi atau teknik-teknik yang dipelajari guna membantu daya ingatan. Menurut ahli psikologi banyak strategi atau teknik dalam mempertajamkan ingatan (memory).

Dalam proses pembelajaran, lupa kerap kali terjadi dalam belajar kognitif, di mana siswa banyak “belajar verbal”, yaitu belajar yang menggunakan bahasa. Bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi, peserta didik mempergunakan bahasa untuk mempelajari sumber-sumber tertulis, mengajukan pertanyaan dalam bentuk bahasa lisan dan merumuskan hasil belajarnya dalam bentuk perumusan verbal. Guru juga mempergunakan bahasa, dalam memberikan bimbingan belajar, dalam mengajukan pertanyaan, dalam menuntut prestasi belajar dan dalam memberi umpan balik. Hasil belajar kognitif kerap disimpan dalam ingatan dalam bentuk perumusan verbal, misalnya pengetahuan, konsep, kaidah serta prinsip yang diproses melalui ingatan jangka pendek (STM) untuk diolah (encoding), kemudian dapat dipanggil (retrieval) dan dimasukkan ke dalam ingatan jangka panjang (LTM) yang rentan terjadinya lupa akibat informasi rusak (decay) dan terhalang (interference). Hasil belajar psikomotorik dan sikap, tidak begitu mudah terlupakan, karena keterampilan motorik dan sikap, sekali dibentuk, cenderung bertahan terus, bahkan menjadi semakin kuat dan mulai merupakan kebiasaan-kebiasaan yang tidak lagi disertai kadar kesadaran yang tinggi.

B.   Cara-cara Mempertajamkan Daya Ingatan

Cara-cara di bawah juga sangat tergantung dengan kemampuan ingatan (memory) seseorang dalam bekerja, dan dapat membantu dalam mempertajamkan daya ingatan.

Imajeri Visual

Imajeri visual adalah membayangkan gambar di dalam pikiran. Untuk merangsang daya ingat kita harus membayangkan sesuatu dalam bentuk gambar atau bentuk verbal (tulisan, lisan) dibayangkan dalam bentuk non-verbal, seperti kalimat “ Rudi terjatuh dari pohon rambutan di belakang rumahnya”, maka ia harus membayangkan rambutan dengan dahannya yang kecil dalam pikiran, dan Rudi dengan badan besarnya di atas dahan, bagaimana dahan kecil menurut pikiran kita kalau kita panjat tentu jawaban pikiran kita patah atau lentur?, seterusnya kita hubungkan dengan belakang rumah kita yang memiliki kebun. Cara seperti ini sangat efektif untuk mempertajamkan daya ingatan kita.

Organisasi

Cara kedua mempertajam daya ingatan dengan  mengorganisasikan informasi atau menstrukturkan informasi untuk membuat tatanan dan pola tertentu. Informasi dapat dilakukan secara berantai, berurut, teratur, berdasarkan sub-sub, bagian-bagian, dari yang mudah ke sulit. Organisasi serial dapat dipergunakan ketika seseorang harus mengingat banyak kejadian. Ia dapat menyusunkan urutan kejadian-kejadian itu sesuai dengan waktu kejadian, kemudian organisasi hirarkis dapat dilakukan dengan cara mengelompokkan informasi berdasarkan tingkatan-tingkatan atau urutan-urutan dari yang besar sampai pada tingkat yang kecil.

Mediasi

Mediasi juga dapat disebut dengan kata lain “perantara”. Cara lain untuk mempertajamkan ingatan dengan menghubungkan kata yang familiar  dalam fikiran kita, seperti mengaitkan satu kata dengan kata lain, atau membuat singkatan kalimat-kalimat yang familiar. Contoh, kata “akhlak”, agar lebih mudah mengingat arti, maka seseorang dapat menambah kata ini dengan “akhlak mulia” atau “akhlakul karimah”. Mediasi dengan membuat singkatan kata-kata, nama instansi, seperti nama Presiden RI; Sosilo Bambang Yudiyono disingkat “SBY”, Wakil Presiden; Yusuf Kalla disingkat “YK”. Nama instansi yang sudah umum, seperti; Departemen Luar Negeri disingkat “DEPLU”, Dewan Perwakilan Rakyat disingkat “DPR”, dan masih banyak contoh yang lain.

Simbol

Simbol dipergunakan untuk mengganti objek yang diingatkan, baik dengan mempergunakan simbol gambar, simbol huruf, simbol angka, contohnya, agar seseorang mudah mengingat kendaraan dari suatu daerah, maka plat mobil dan motor di simbol dengan huruf seperti; Jambi dengan “BH”, Jakarta dengan “B”, dan lain sebagainya. Pasar disimbolkan pada rambu-rambu lalu lintas dengan “sapi”, baik/bagus disimbolkan dengan “ibu jari”, jenis kelamin laki-laki disimbolkan dengan angka “1”, perempuan dengan angka “2”, Januari disimbolkan dengan bulan “I”, dan lain sebagainya.

Pendekatan Multi Model

Pendekatan multi model dapat dipergunakan untuk mempertajam daya ingatan bagi orang-orang yang mengalami kekurangan daya ingatan (memory deficit). Daya ingatan seseorang sangat dipengaruhi oleh kondisi mental seseorang, fisiknya, sikap terhadap ingatan, kontek sosial, manakala hal ini terjadi maka perlu menggunakan pendekatan multi model untuk manipulasi mental berbentuk pengulangan, perhatian terfokus pada rincian isyarat, menggunakan kode semantik, dan melibatkan aspek-aspek emosional terhadap bahan yang ingin diingat.

Biasanya kondisi fisik lemah, lingkungan yang tidak kondusif, kesibukan kerja, banyak masalah akan membuat daya ingatan berkurang, untuk mengembalikan daya ingatan lebih baik maka seseorang perlu menjaga kondisi fisik, lingkungan yang kondusif, kerja yang rileks dan semangat.

  1. C. Model-Model Ingatan (Memory)

Ingatan atau memory yang dimiliki manusia menurut pendapat ahli bermacam-macam bentuk, secara garis besar yaitu; ingatan jangka pendek (short term memory) juga disebut kesadaran, ingatan jangka panjang (long term memory) juga disebut gudang ingatan. Mekanisme informasi masuk ke dalam ingatan dan menjadi pengetahuan seperti gambar berikut ini;

Informasi yang ditangkap oleh indera dari lingkungan fisik ditujukan ke dalam ingatan jangka pendek, simpanan jangka pendek memproses informasi sekitar 0,5 detik sampai 2 detik dan berkapasitas 5-9 item, jika informasi itu tidak hilang dari ingatan jangka pendek dalam waktu ini, maka informasi masuk ke dalam ingatan kerja jangka pendek dan berproses selama 20 detik, selanjutnya tersimpan dalam ingatan jangka panjang (gudang ingatan), informasi tersebut dapat tersimpan mulai dari satu menit sampai kepada tidak terhingga atau sepanjang hayat. Memori bukanlah gudang informasi yang pasif akan tetapi merupakan sistem yang aktif, ia memilih data penginderaan  mana yang akan diolahnya, mengubah data menjadi informasi yang bermakna, dan menyimpan banyak dari informasi itu untuk digunakan pada waktu kemudian.

Namun demikian para ahli berpendapat bahwa ingatan tidak hanya terbatas dalam ingatan jangka pendek dan panjang, akan tetapi ingatan itu terbagi ke dalam ingatan dekleratif, ingatan prosudural, ingatan semantik, ingatan episodik, ingatan implisit, ingatan eksplisit, dan ingatan otomatis dan ingatan penuh usaha. Endel Tulving (dalam Matlin, 1989[9]) membuat karakteristik memory episodik dan semantik dari hasil penelitiannya, sebagaimana di bawah ini,

No Karakteristik Ingatan Episodik Ingatan Semantik
1 Sumber informasi Pengalaman indera Pengertian
2 Unit informasi Episode & peristiwa Konsep, ide, fakta
3 Organisasi Terkait dengan waktu Konseptual
4 Muatan emosi Lebih penting Kurang penting
5 Kecendrungan lupa Besar Kecil
6 Waktu yang dibutuhkan untuk mengingat Relatif lama Relatif pendek
7 Cara mengingat di laboratorium Mengingat kembali episode tertentu Pengetahuan umum
8 Kegunaan umum Kurang berguna Sangat berguna

Dalam proses pembelajaran siswa dan mahasiswa membutuhkan hasil penggalian dari ingatan pada saat:

(a)     Unit pelajaran, yang belum selesai dipelajari seutuhnya, akan dilanjutkan, misalnya pada jam pelajaran berikutnya. Di sini peranan apa yang disebut “working memory”.

(b)     Hasil belajar akan diterapkan di luar lingkup bidang studi yang bersangkutan, misalnya pengetahuan di bidang studi IPA digunakan untuk memahami gejala-gejala klimatologis yang dialami setiap hari (transfer belajar). Di sini working memory berperanan.

(c)    Harus memberikan prestasi pada akhir proses belajar, yang membuktikan bahwa hasil belajar memang diperoleh atau tujuan instruksional telah tercapai. Di sini working memory mungkin berperanan.

Sesudah proses pembelajaran berakhir, siswa membutuhkan hasil penggalian dari ingatannya pada saat:

(a)   Mempelajari  unit pelajaran lain di  bidang studi sama atau    mempelajari  topik   tertentu   di bidang   studi lain.  Hasil  dari  belajar   yang  dahulu  itu  diperlukan  dalam  rangka pengolahan  materi  yang   lain.  Di sini   working  memory berperan.

(b)   Mengulang kembali garis-garis besar dari materi pelajaran untuk        beberapa pokok bahasan, sebagai persiapan untuk menempuh ulangan (review). Di sini working memory berperan.

(c)  Memberikan prestasi pada waktu mengerjakan ulangan yang   meliputi sejumlah satuan pelajaran yang telah selesai dipelajari. Di sini working memory mungkin berperan[10]).

Ingatan Jangka Pendek (Short Term Memory)

Menurut pendapat Atkinson dan Shiffrin (dalam Hunt[11]), informasi yang diterima kemudian diproses melalui pencatatan indera menuju ingatan jangka pendek (short term memory). Pemindahan informasi dari ingatan indera (ingatan sensori) menuju ingatan jangka pendek akan dikendalikan oleh perhatian. Jika proses informasi dalam ingatan jangka pendek sudah dikendalikan, maka informasi itu akan melakukan fungsi ingatan. Dalam ingatan jangka pendek dilakukan rehearsal atau repetition, yaitu melakukan pengulangan dan pengkodean informasi di dalam fikiran atau ingatan.

Rehearsal merupakan kegiatan mengingat-ingatkan kembali informasi yang baru diterima oleh  fikiran, dan memiliki fungsi: (1) untuk memelihara atau mempertahankan informasi di dalam ingatan jangka pendek, dan (2) untuk memindahkan informasi dari ingatan jangka pendek ke dalam ingatan jangka panjang sebagaimana gambar di atas ini.

Retrieval Informasi juga disebut pengkodean informasi untuk dipindahkan ke dalam ingatan jangka panjang. Seperti mengkode  nomor telepon, hand phone yang memiliki item angka yang banyak, kapasitas ingatan jangka pendek 5-9 item, jika nomor itu lebih dari 5-9 item maka dilakukan penggolongan angka menjadi puluhan, ratusan, ribuan. Contoh; nomor hand phone 081366904079 dapat digolongkan menjadi 0813  66  904  079 untuk memudahnya tersimpan dalam ingatan jangka panjang.

Ingatan Jangka Panjang (Long Term Memory)

Ingatan jangka panjang merupakan gudang ingatan, merupakan penyimpanan informasi yang permanen (berlangsung lama dari beberapa menit hingga tidak terbatas). Selain itu informasi tersimpan dalam bentuk maknanya dan pengetahuan yang terorganisasi (semantik). Informasi yang sudah menjadi pengetahuan dalam ingatan jangka panjang akan dapat dipanggil kembali. Pemanggilan diketahui dengan empat cara:

1)     Pengingatan (Recall). Pengingatan adalah proses aktif untuk menghasilkan kembali fakta dan informasi secara verbatim (kata demi kata), tanpa petunjuk yang jelas. Contoh, siswa menjawab pertanyaan guru, “Apakah Harimau sejenis dengan kucing?” Siswa mencoba mengingat kembali fakta yang tersimpan di dalam ingatannya (memorinya).

2)     Pengenalan (Recognition). Agak sukar untuk mengingat kembali sejumlah fakta; lebih mengenalnya kembali. Seperti pertanyaan guru SD, “Apa nama ibu kota Jawa Barat?”, lebih sukar dijawab dibanding pertanyaan kedua, “Apa nama ibu kota Jawa Barat – Bandung atau Surabaya, tanpa mengingat, siswa SD cukup mengenal satu di antara dua. Pilihan ganda (multiple choice) dalam tes objektif siswa dituntut pengenalan, bukan Pengingatan.

3)     Belajar lagi (Relearning). Mempelajari lagi pelajaran yang telah diperoleh termasuk pekerjaan memori. Contoh, pada waktu usia 8 “Budi” sudah hafal sajak Khairil Anwar, sekarang usianya sudah 18 tahun, ditanya oleh ayahnya- apakah ia masih ingat dengan sajak Khairil Anwar?, Budi menjawab tidak ingat (Recall), kemudian ayahnya bertanya – apa saja sajak yang Budi kenal (Recognition), Budi menjawab tidak ada sajak yang ia kenali. Selanjutnya Budi menghafal sajak-sajak yang diberikan ayahnya, ternyata sajak yang telah hafal pada usia 8 tahun dulu lebih cepat hafalnya dibanding dengan sajak yang tidak pernah sama sekali dihafalnya pada usia 8 tahun, menurut psikologi 25% seseorang lebih cepat menghafal kutipan yang pernah dihafal sebelumnya.

4)     Redintegrasi (Redintegration). Redintegrasi ialah merekonstruksi seluruh masa lalu dari satu petunjuk memory kecil. Irama dan nada lagu sering membawa seseorang pada kenang-kenangan masa lalu, membuatkan emosinya terpengaruh; menangis, sedih, gembira, senyum. Demikian pula tempat, warna, bau dapat juga mempengaruhi perasaan anda, seperti tempat belajar anda di waktu SMP, anda ingat teman sekelas tempo dulu, tatkala melihat gedung sekolah anda merasa sedih, rindu, dan hiba, sekarang teman-teman itu entah pergi ke mana. Bau parfum mengingatkan anda dengan kekasih yang suka memakai bau parfum itu.

Perbedaan sistem ingatan pada kedua model di atas menunjukkan perbedaan aktivitas. Ingatan jangka pendek, lupa (forgetting) yang disebabkan oleh kerusakan informasi (decay) di dalamnya, sementara ingatan jangka panjang maka lupa terjadi karena gangguan atau terhalang oleh informasi lain (interference). Sebagian ahli teori berpendapat bahwa kedua sistem ingatan tersebut, lupa dapat terjadi baik disebabkan oleh kerusakan atau gangguan informasi di dalam ingatan. Juga, seperti dikatakan bahwa ingatan jangka pendek menyimpan informasi melalui suara atau bunyi, sementara ingatan jangka panjang menyimpan informasi melalui bahasa atau makna. Namun sebagian para ahli yang lain tidak setuju dengan pandangan ini, karena dapat terjadi kombinasi penyimpanan informasi baik melalui suara ataupun maknanya dalam sistem ingatan jangka pendek dan ingatan jangka panjang.

Gagne dalam bukunya “Essentials of Learning for Instruction” (1988) (dalam Winkel[12]) melakukan perubahan dalam urutan fase-fase dalam proses belajar. Dalam rangkaian kejadian internal pada siswa tidak ada fase yang dihilangkan, tetapi terhadap urutan fase ada yang digeser tempatnya dan ada yang dibagi atas dua fase terpisah. Secara konkrit rangkaian fase dalam proses belajar siswa menjadi:

1 Menaruh perhatian

(Attention, alertness)

Siswa khusus memperhatikan hal yang akan dipelajari, sehingga konsentrasi terjamin.
2 Menyadari tujuan belajar

(Motivation, expectancy)

Siswa sadar akan tujuan instruksional dan bersedia melibatkan diri.
3 Menggali dari LTM

(Retrieval to working memory)

Siswa mengingat kembali dari ingatan jangka panjang apa yang sudah diketahui/dipahami/dikuasai tentang pokok bahasan yang sedang dipelajari
4 Berpersepsi selektif

(Selective perception)

Siswa mengamati unsur-unsur dalam perangsang yang relevan bagi pokok bahasan. Siswa memperoleh pola perseptual.
5 Mengolah informasi

(Encoding; entry to LTM storage)

Siswa memberikan makna pada pola perseptual dengan membuat informasi sungguh berarti, antara lain dengan menghubungkannya dengan informasi lama yang sudah digali dari LTM. Hasil pengolahan dimasukkan ke LTM.
6 Menggali informasi dari LTM

(Responding to question or task)

Siswa membuktikan melalui suatu prestasi kepada guru dan diri sendiri bahwa pokok bahasan telah dikuasai; memberikan indikasi bahwa tujuan instruksional khusus pada dasarnya telah dicapai.
7 Mendapatkan umpan balik

(Feedback reinforcement)

Siswa mendapat penguatan dari guru kalau prestasinya tepat; mendapat koreksi kalau prestasinya salah.
8 Memantapkan hasil belajar

(Frequent retrieval transfer)

Siswa mengerjakan berbagai tugas untuk mengakarkan hasil belajar. Siswa mengadakan transfer belajar. Siswa mengulang-ulang kembali.
  1. D. Peran Perhatian, Pengharapan, dan Mengingatkan Kembali Informasi untuk Tersimpannya Informasi secara Permanen

Tersimpannya informasi secara permanen di dalam ingatan jangka panjang sangat ditentukan atau dipengaruhi oleh komponen lain, seperti perhatian (attention), pengharapan (expectancy), dan retrival (mengingatkan kembali).

Perhatian (attention) adalah pemusatan fikiran terhadap suatu objek atau tugas tertentu pada saat yang sama mengabaikan objek dan tugas yang lain. Menurut Matlin (dalam Suharnan[13]) perhatian dapat dibedakan dalam dua jenis, (a) perhatian terbagi (divided attention), (b) perhatian terpilih (selective attention). Perhatian terbagi merupakan pemusatan fikiran terhadap lebih dari satu objek atau sumber informasi yang saling berkompetisi, sehingga perhatian terbagi. Kemudian perhatian terpilih yaitu pemusatan fikiran terhadap satu objek atau tugas yang jadi pilihan, atau menentukan pilihan pada waktu yang bersamaan di mana seseorang mesti menentukan satu pilihan dan mengabaikan yang lainnya. Menurut Gagne informasi yang bermakna dapat tersimpan dalam ingatan jangka panjang yang menjadi bagian dari sistem pengetahuan dan merupakan tujuan dari belajar seseorang. Pengetahuan yang dimiliki seseorang merubah perilaku, keterampilan, sikap, dan nilai Gagne[14] menyebutnya kapabilitas. Kapabilitas adalah hasil dari belajar.

Pengharapan (expectancy) merupakan sikap (arah jiwa) dengan membutuhkan perhatian penuh yang disertai dengan ketegangan otot-otot yang semakin meninggi terhadap suatu objek.

DAFTAR BACAAN

Gagne, R.M. Domain Learning. Interchange, 3 (1), (1972).

Gagne, R.M. The conditions of Learning (edisi ketiga) (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1977a).

Hunt, M. The Universe Within; A New Science Explores The Human Mind, (New York: Simon & Schuster, 1993).

Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi. (Bandung, Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, 1996).

Matlin, M.W. Cognition (2nd edition)(New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc, 1989).

Suharnan, M.S. Psikologi Kognitif. (Surabaya, Penerbit Srikandi, 2005).

W.S. Winkel, Psikologi Pengajaran, (Jakarta, Penerbit PT. Grasindo Widiasarana Indonesia, 1996).


[1]) Disuse Theory, menurut teori ini, ingatan hilang atau memudar karena waktu. William James dan Benton J. Underwood membuktikan eksperimen, bahwa “the more memorizing one does, the poorer one’s ability to memorize” – makin sering mengingat, makin jelek kemampuan mengingat (Hunt, 1982,:94). Lagipula, tidak selalu waktu mengauskan ingatan. Sering terjadi, kita masih ingat pada peristiwa puluhan tahun yang lalu, tetapi lupa kejadian seminggu yang lewat.

[2] ) Memory (ingatan, daya ingatan); 1. fungsi yang terlibat dalam mengenang atau mengalami lagi pengalaman masa lalu. 2. keseluruhan pengalaman masa lampau yang dapat diingat kembali. 3. satu pengalaman masa lalu yang khas.

[3]) Ingatan yang berlangsung pendek (secara khas berlangsung selama beberapa detik), dan mempunyai kapasitas terbatas (5-9 item).

[4] )  Ingatan permanen atau ingatan yang dapat bertahan selama periode yang panjang mungkin sepanjang hayat.

[5]) John Lock (1632-1704), tokoh aliran Empirisme Inggeris, berpendapat bahwa manusia dipengaruhi oleh lingkungan, dan pengalaman merupakan sumber dari semua pengetahuan.

[6])     Pandangan nativisme juga berasosiasi dengan inteligensi, dan beranggapan bahwa kapasitas bagi fungsi intelektual diwarisi sejak lahir.

[7]) Dalam pendidikan ada hukum konvergensi (convergency) yaitu hukum mengenai bertemunya bakat dan pengaruh lingkungan, sehingga apa yang kita lihat pada anak harus dipandang sebagai dari perjumpaan ini.

[8]) Allah telah memberikan agama fitrah kepada setiap umat lahir ke bumi sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Rum: 30

OÏ%r’sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $Zÿ‹ÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏ‰ö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$#  ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ

Artinya;  Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh lingkungan.

Fitrah itu sesuai dengan watak manusia yang terikat perjanjian (mistag) bahwa manusia menerima Allah sebagai Tuhan yang disembah. Allah SWT berfirman dalam surat Al A’raaf: 172

øŒÎ)ur x‹s{r& y7•/u‘ .`ÏB ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä `ÏB óOÏd͑qßgàß öNåktJ­ƒÍh‘èŒ öNèdy‰pkô­r&ur #’n?tã öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4’n?t/ ¡ !$tRô‰Îgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x‹»yd tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÐËÈ

Artinya; Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku Ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)”.

Dengan demikian fitrah manusia adalah mempercayai adanya Allah SWT sebagai Tuhan. Fitrah manusia percaya kepada Tuhan berarti manusia mempunyai potensi aktualisasi sifat-sifat Tuhan ke dalam diri manusia yang harus dipertanggung jawabkan sebagai amanah Allah dalam bentuk ibadah. Ibadah juga merupakan tujuan manusia diciptakan. Allah seterusnya menegaskan dalam surat Al-Zahriyat : 56

$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbr߉ç7÷èu‹Ï9 ÇÎÏÈ

Artinya; Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi   kepada-Ku.

[9] ) Matlin, M.W. Cognition (2nd edition)(New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc, 1989.

[10] ) W.S. Winkel, Psikologi Pengajaran, (Jakarta, Penerbit PT. Grasindo Widiasarana Indonesia, 1996), hl. 451

[11] ) Hunt, M. The Universe Within; A New Science Explores The Human Mind, (New York: Simon & Schuster, 1993). Shiffrin, R.M. “Forgetting: Trace Erosion or Retrieval Failure, “, Science, 1970, 168: 1601 -1603.

[12] Winkel, Op cit, hl, 317

[13] Prof. Dr. Suharnan, M.S. Psikologi Kognitif. (Surabaya, Penerbit Srikandi, 2005), hl. 40.

[14] Gagne, R.M. Domain Learning. Interchange, 3 (1), (1972) hl. 1-8, dan Gagne, R.M. The conditions of Learning (edisi ketiga) (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1977a).

PRAHARA PENDIDIKAN JAMBI

2 Komentar

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Yth,  Bupati Tanjung Jabung Barat,

Yth,  Rektor IAIN STS Jambi sebagai Ketua Koordinator Kopertais Wilayah XIII Provinsi Jambi,

Yth,  Ketua DPRD Tanjung Jabung Barat,

Yth,  Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama Tanjung Jabung Barat

Yth,  Kepala Kantor Kementarian Agama Tanjung Jabung  Barat, Kepala Dinas, dan Kepala Badan

Yth,  Ketua STAI Tanjung Jabung Barat

Yth,  Anggota senat STAI Tanjung Jabung Barat

Yth,  Unsur Muspida

Yth,  Bapak/Ibuk Orangtua/Wali/Suami/Isteri/Kekasih para wisudawan.

Pertama-tama izinkan saya menyampaikan orasi ilmiah dengan judul;

Prahara Pendidikan[1]

DR. H. Martinis Yamin, M.Pd

Pendidikan Indonesia selalu diterpa prahara, problema-problema yang silih berganti, hilang satu tumbuh seribu, dan semua pihak telah ikut membendungkan prahara yang mengobrak abrik pendidikan Indonesia, tetapi belum menemui hasil yang maksimal.

Kehidupan global dan majunya teknologi membuatkan kita terbirit-birit menata pendidikan Indonesia, dana pendidikan dikucurkan oleh pemerintah dengan alokasi yang besar, 20% dari APBN dan 20% APBD tetapi dana ini tidak sampai pada lapisan bawah secara utuh untuk menyelesai probelam pendidikan, karena dimakan rayap dan tikus yang nakal. Permasalahan ini terjadi pada mutu pendidikan yang rendah, baik itu dari segi tenaga pendidik, penerapan kurikulum, sarana dan prasarana, lulusan, pembiayaan, pengelolaan, proses pembelajaran, dan penilaian.

  1. A. Prahara Mutu Pendidikan Jambi

Quo Vadis mutu pendidikan di provinsi Jambi, pada tahun 2009 catatan Human Development Index (HDI), mutu pendidikan provinsi Jambi menempati ranking 29 dari 33 provinsi Indonesia. Kemudian 32 orang siswa yang berasal dari SMA, SMK, dan MA provinsi Jambi terjaring memasuki perguruan tinggi ternama di Indonesia, seperti; UI, ITB, UGM, UNPAD, UNAIR, dan UNBRAW. Berapa naifnya mutu pendidikan kita? Kapan kita mampu keluar dari lingkaran ketertinggalan? Jawabannya ada pada diri kita masing-masing.

Selanjutnya, survey Komisi IV DPRD Provinsi Jambi tahun 2010 terhadap 2400 sekolah pada 7 kabupaten dan 1 kota, menyatakan;

  1. I. Fisik
    1. 85% tidak layak
      1. 90% Sekolah Dasar Negeri tidak memenuhi standar permendagri
      2. 95% SMUN tidak memenuhi standar
        1. 100% perpustakaan sekolah tidak memenuhi standar
        2. Hampir semua SDN tidak mempergunakan media yang tersedia di sekolah
  2. II. Manajemen

Semua sekolah memiliki visi tetapi tidak dipahami dan tidak diimpelemntasikan

  1. III. Pembiayaan

Dana komite yang seharusnya untuk peningkatan mutu pembelajaran, digunakan untuk membangun fasilitas fisik, seperti membangun pagar, keramik sekolah, perbaikan WC, dll.

  1. B. Prahara dalam Orientasi Pendidikan

Sejak dahulu kala pendidikan kita berorientasi untuk mengubah perilaku peserta didik, menciptakan peserta didik memiliki pengetahuan, dan menjadi orang-orang pintar. Semangat ini telah mengakar dan mengelegar di segenap lapisan komunitas bangsa yang tergoyahkan. Sampai hari ini, sudah 65 tahun Indonesia mardeka orientasi itu tidak terwujud secara kaffah, tidak dapat pungkiri banyak orang-orang pintar yang dilahirkan dari lembaga pendidikan tapi hanya untuk menipu orang-orang bodoh, banyak orang-orang santun yang dilahirkan dari lembaga pendidikan tetapi menzalimi orang lain, banyak orang-orang yang berpengetahuan dihasil dari lembaga pendidikan tetapi hanya untuk dirinya sendiri (masih segar dalam ingatan kita kasus Gayus merupakan produk orientasi pendidikan perilaku). Orientasi perilaku (behavioristik) sudah lama ditinggal oleh negara-negara maju karena sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan umat manusia. Sementara pendidikan Indonesia masih berjalan di tempat.

Orientasi baru pendidikan adalah konstruktivistik dengan paradigma baru bahwa tidak semua anak manusia itu pintar, kepintaran merupakan faktor keturunan dan guru akan tidak mampu mengubahkannya, anak yang bodoh tidak akan sanggup seorang guru untuk mengubahnya menjadi anak normal dan genius. Anak yang pintar memang dilahir pintar dan anak bodoh dilahirkan bodoh. Peran guru hanya sekedar memaksimal kepasitas, seperti IQ anak normal 90 – 110 (minimal 90, maksimal 110).. Anak memiliki kecerdasan yang banyak, seperti kecerdasan bahasa, logico-matematika, visual-spasial, musik, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, naturalistik, dan eksistensial yang dibawa sejak lahir, pada hakekatnya cerdas bukanlah pintar akan tetapi sering disamakan artinya. Konstruktivistik memandang kecerdasan itu ibarat sebilah mata pisau, ia akan tajam bila diasah dan tetap tumpul bila tidak diasah. Guru berpan sebagai mentor, mediator, dan fasilitator dalam proses pembelajaran.

Otak sama halnya dengan otot, dapat dilatih dan dibiasakan untuk melakukan sesuatu

Kepintaran yang dimiliki oleh masing-masing individu boleh saja sedang atau pada tingkat normal, tetapi memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi, di negara maju seleksi bakat suatu hal yang mutlak karena bakat merupakan potensi yang dapat ditingkatkan dan dikembangkan, orang tua tidak merasa malu bila anaknya tidak tamat sarjana atau sekolah tinggi, tetapi anak mereka berprestasi dalam musik, olah raga, seni, dan budaya. Prestasi seperti ini akan dapat menciptakan mereka sejahtera dan terhormat di tengah masyarakat. Di Australia peserta didik yang rendah matematik tetap dinyatakan lulus ujian akhir (UAN) manakala mereka memiliki bakat, seperti bakat renang, dan peserta didik tersebut diberi materi latihan renang yang sama dengan materi pelajaran lain. Sementara pendidikan di Indonesia memaksa pengetahuan ke dalam pikiran peserta didik agar peserta didik pintar.

Membelajar menurut kaum konstruktivistik bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru kepada peserta didik, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan peserta didik membangun sendiri pengetahuannya.

Ujian Nasional merupakan kegagalan pendidikan Indonesia karena menentukan kelulusan peserta didik dengan standar reference dan criterium reference, sementara norm refenece diabaikan. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragam, beragam dalam kebudayaan, beragam agama, beragam etnis, beragam lingkungan, beraga tingkat sosial, dll yang menjadi pertimbangan. Ujian nasional menurut pandat saya boleh saja dilaksanakan untuk pemetaan pendidikan atau melihat standarisasi pendidikan bukan menentukan lulus atau tidak lulusnya peserta didik. Menentukan lulus atau tidak lulus adalah guru yang melaksanakan proses.

Otak bukan seperti ember yang siap diisikan dengan air

Peningkatan kualitas guru perlu mendapat perhatian pemerintah, sertifikasi guru tidak menjadi jaminan bahwa guru itu memiliki kualitas baik. Minat baca dan pengembangan diri guru masih terasa rendah, terutama di daerah yang relatif jauh dari ibu kota kabupaten dan provinsi. Lembaga pendidikan telah berkembang begitu pesat, masyarakat dapat mengaksesnya dengan cepat, tersedia Universitas terbuka, Sekolah Tinggi, seperti STAI An Nadwah telah berada di hadapan mata, kenapa masyarakat kita masih termenung, berpangku tangan, dan diam. Berangkali asik dengan permainan-permainan yang membuat mereka lupa diri. Berpikir dan bertindak yang kurang cepat akan akan membuatkan umat manusia tergilas dan tertinggal dalam peradaban.

Sosialisasi dan himbauan selalu diharapkan untuk memasyarakatkan sekolah, memasyarakatkan pendidikan. Ketertinggalan, kemiskinan, dan kebodohan akan dapat diatasi dengan pendidikan dan sekolah.

Kemampuan peserta didik ibarat bunga di dalam vas yang harus dipelihara, dirawat, disirami, dan dipupuk agar ia tumbuh subur, dan berbunga.

Pada intinya sekolah dan orientasi pendidikan bagi seseorang adalah menciptakan mereka untuk berpikir dengan mempergunakan pengetahuan, seseorang yang sudah mampu mempergunakan pikirannya merupakan kemajuan pada dirinya. Di dalam al-Qur’an banyak sekali kalimat tentang berpikir, “apakah kamu tidak mengetahui,” “apakah kamu tidak berpikir. “ Pikiran yang dimiliki masing –masing individu akan mampu menciptakan manusia menjadi manusia, manusia yang beriman, berakhlak, dan manusia mengetahui tentang dirinya. Allah berfirman “Siapa mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhannya.” Berpikir yang baik adalah lebih penting daripada mempunyai jawaban yang benar atas suatu persoalan yang sedang dipelajari. Seseorang yang mempunyai cara berpikir yang baik, dalam arti bahwa cara berpikirnya dapat digunakan untuk menghadapi suatu fenomena baru, akan dapat menemukan pemecahan dalam menghadapi persoalan yang lain. Sementara itu, seorang peserta didik yang sekedar menemukan jawaban benar belum pasti dapat memecahkan persoalan yang baru karena mungkin ia tidak mengerti bagaimana menemukan jawaban itu. Bila cara berpikir itu berdasarkan pengandaian yang salah atau tidak dapat diterima pada saat itu, ia masih dapat memperkembangkannya.  Membelajarkan adalah membantu seseorang berpikir secara benar dengan membiarkan ia berpikir sendiri.

C.  Kesimpulan

Sekolah merupakan sarana untuk mengembangkan, menyuburkan, dan merawat pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik. Bukan sarana untuk memberikan pengetahuan. Di samping itu kepedulian pemerintah dan masyarakat sangat diharapkan, tanpa kerjasama semua pihak mustahil pendidikan akan berkualitas dan maju.

Demikianlah orasi ilmiah saya semoga bermanfaat dan dapat direnungkan bersama.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

DAFTAR BACAAN

Brown, J. S.S., Collins, A. & Duguld, S. (1989) Situated Cognition and The Culture of Learning. Educational Researcher, 18 (1).

.

Grabinger, S.R. and Dunlap, J. C (1995) Rich Environment for Active Learning: a definision ALT-J, Journal of the Association for Learning Teknology. 3 (2).

Kearsley, G. (n.d) Situated Learning (J. Lave). Retrieved September 10, 2002, from Explorations in Learning & Instruction: The Theory Into Practice Database Web Site: http//tlp.psychology.org/lave.html.

Lave, J., Wenger, E. (1991). Situated Learning: Legitimed pariperal participation. Cambrige, UK: Cambridge University Press.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DR. H. MARTINIS YAMIN, M.Pd lahir di Pulau Rengas Bangko 3 Nopember 1960, putra pertama dari Bapak H. Ibnu Yamin dan Ibu Hj. Nasiatul Asiah, menyelesaikan pendidikan SD Negeri Pulau Rengas tahun 1971, MTsN tahun 1975, PGA tahun 1979 di Bukittinggi, IAIN Padang Jurusan Pendidikan Agama Islam tahun 1986, S-2 UNP Prodi Teknologi Pendidikan tahun 1999, dan sejak September tahun 2007 mengikuti program S-3 Universitas Negeri Jakarta Prodi Teknologi Pendidikan dan berhasil mempertahankan disertasinya dalam ujian terbuka pada tanggal 30 Oktober 2009 .

Menikah dengan Hj. Suriana, dikurniai 3 orang anak. Anak pertama dan kedua kembar sepasang. Satria Fitrio 27 April 1990 sekarang kuliah pada Fakultas Teknik Pertambangan di Universitas Sriwijaya (UNSRI) Palembang; Ethika Fitri 27 April 1990 sekarang kuliah pada Fakultas Ekonomi Prodi Akutansi Universitas Jambi (UNJA); Esti Imania 19 Mei 1993 sekarang sekolah di SMAN 5 Jambi Jurusan IPA.

Pengalaman jabatan

  1. Guru PGAN Jambi (1986-1987),
  2. Guru Madrasah Aliyah Laboraterium Jambi (1986-1987),
  3. Guru CPNS SMAN Muara Sabak (1987),
  4. Dosen Tetap pada Fakultas Tarbiyah IAIN Jambi (1989 – sekarang),
  5. Dosen Senior pada Sekolah Tinggi Agama Islam Swasta (STAI) SMQ Bangko (1994 – sekarang),
  6. Ketua UP-PPL Fakultas Tarbiyah IAIN Jambi (1999 – 2003),
  7. Pembantu Dekan III Fakultas Tarbiyah IAIN Jambi (2003 – 2007),
  8. Narasumber Workshop Keguruan dalam Lingkungan Departemen Agama RI (2004),
  9. Narasumber Warkshop Guru dan Kepala Sekolah SD, SMP Kota Madya Jambi (2005 – 2006),

10. Dosen Senior pada Sekolah Tinggi Agama Islam Swasta (STAI) Yasni Muara Bungo (2005 – sekarang),

11. Wakil Ketua Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta Wilayah XIII Jambi (2008 – sekarang),

12. Anggota Tim Pakar Pendidikan Komisi IV DPRD Provinsi Jambi (Januari 2010 – sekarang),

13. Dosen Program Pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi (Maret 2010 – sekarang )

14. Dosen Megister Teknologi Pendidikan Program Pascasarjana Universitas Negeri Jambi (UNJA) (Februari 2010 – sekarang).

Karya Ilmiah berupa buku yang telah dipublikasikan adalah;

  1. Matode Pembelajaran yang Berhasil. Penerbit Sesama Mitra Suksesa Jakarta (2001).
  2. Sepuluh Kiat Sukses Mengajar di Kelas. Penerbit Nimas Multima Jakarta (2002).
  3. Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi. Penerbit Gaung Persada Press Jakarta (2003).
  4. Pengajaran Micro; Perangkat Sistem Pengajaran Modul. Penerbit Fakultas Tarbiyah Press (2004).
  5. Pengembangan Kompetensi Pemelajar. Penerbit Universitas Indonesia Press Jakarta (2004).
  6. Paradigma Baru Reformasi Pendidikan Tinggi Islam. Penerbit Universitas Indonesia Press Jakarta (2004).
  7. Profesionalisasi Guru dan Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Penerbit Gaung Persada Press Jakarta (2006).
  8. Sertifikasi Profesi Keguruan di Indonesia. Penerbit Gaung Persada Press Jakarta (2006).
  9. Kiat Membelajarkan Siswa. Penerbit Gaung Persada Press Jakarta (2007).

10. Desain Pembelajaran Berbasis Tingkat Satuan Pendidikan. Penerbit Gaung Persada Press Jakarta (2007).

11. Taktik Mengembangankan Kemampuan Siswa. Penerbit Gaung Persada Press Jakarta (2008).

12. Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial (editor). Penerbit Gaung Persada Press Jakarta (2008).

13. Paradigma Pendidikan Konstruktivistik. Penerbit Gaung Persada Press Jakarta (2008).

14. Manajemen Strategis dalam Kompetisi Pasar Gelobal (editor). Penerbit Gaung Persada Press Jakarta (2009).

15. Manajemen Pembelajaran Kelas. Penerbit Gaung Persada Press Jakarta (2009).

16. Standarisasi Kinerja Guru. Penerbit Gaung Persada Press Jakarta (2010).

Artikel Ilmiah dalam Jurnal Terakreditasi Nasional

  1. Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, EDUKASI,  Volume VII, Nomor 3, Juli – September 2009. (Akreditasi A). Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat DEPAG RI, Jakarta, 2009.
  1. Jurnal Ilmu Agama dan Ilmu Sosial, SOSIO-RELIGIA, Vol. 9 Edisi Khusus, Februari 2010. (Akreditasi B). Lingkar Studi Ilmu Agama dan Ilmu Sosial (LinkSAS), Yogyakarta, 2010.


[1] Disampaikan dalam Wisuda Sarjana Baru STAI An Nadwah di Kuala Tungkal tgl. 30 Mei 2010.